REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Metode coaching dikatakan akan efektif terhadap kinerja organisasi ketika perusahaan menghadapi era VUCA world. VUCA yang merupakan singkatan dari volatility, uncertainty, complexity dan ambiguity merupakan gambaran situasi di dunia bisnis pada masa kini, yaitu ketika pemimpin merasakan kecemasan yang tinggi pada perusahaan yang dipimpinnya.
"Setiap leader sesungguhnya perlu memiliki coaching skills sebagai bagian dari kelengkapan senjata untuk memimpin secara efektif, khususnya sebagai bentuk situational leadership atas situasi di dunia bisnis pada masa kini," ujar Founder sekaligus Master Coach Vanaya Coaching Institute, Lyra Puspa saat Indonesia Coaching Movement (ICM) 2017 di Jakarta, Rabu (3/5).
ICM 2017 merupakan konferensi yang digelar oleh komunitas Coachnesia yang terdiri dari para coach lulusan Vanaya Coaching Institute. Mengusung tema "IndONEsia Unites! – Embracing Diversity in Disruptive Age”, acara ini dihadiri kurang lebih 300 peserta pengambil keputusan nasional dan eksekutif dari perusahaan besar, perusahaan milik negara, industri, dan perusahaan sosial.
"Pemimpin yang memiliki sikap coaching state, yakni kondisi mental yang objektif, no judgement, empati, kesungguhan untuk betul-betul mendengar, menahan pendapat apalagi perintah, disiplin untuk bertanya secara open-ended, memahami karyawan sebagai manusia secara utuh, adalah sebagian dari kebiasaan mental yang perlu dilatih di tahap- tahap dasar mempelajari coaching," tambah Lyra.
Selain Lyra Puspa, sejumlah eksekutif lain juga menjadi pembicara, seperti HR Director PT Indofood Sukses Makmur Josef Bataona, Doris Poh dari LinkedIn, Peter Stefanyi (Erickson Coaching International–Slovakia, Hemant Bakshi selaku president director PT Unilever Indonesia, dan Chief of Corporate Affairs Officer XL Eka B Danuwirana.
Para perusahaan harus menghadapi generasi millenial yang saat ini mendominasi perusahaan. "Karakteristik generasi millenial ini berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya, sehingga berpengaruh terhadap perubahan perilaku karyawan" kata Eka B Danuwirana.
Eka mengacu kepada total karyawan XL yang sebagian merupakan anak-anak muda generasi digital dengan usia kurang dari 30 tahun. "Mereka sebagian besar merupakan karyawan yang memiliki cara pandang yang sesuai dengan era digital," papar dia.
Oleh karena itu, studi bahwa kultur perusahaan yang terlalu sentralistis menjadi penyebab kegagalan ketika memasuki era VUCA dan disruptive teknologi. "Leader juga perlu banyak mendengar dan percaya kepada bawahannya. Para pemimpin selama ini nyaman untuk selalu memberi perintah padahal prinsip coaching adalah membangun kesadaran diri bawahan," ujar Josef Bataona.
Pada era ini, tambah Josef, dibutuhkan SDM yang penuh inisiatif dan mampu mencari solusi untuk setiap tantangan yang muncul. Dengan coaching, maka karyawan akan menemukan potensi yang optimal dalam dirinya.