REPUBLIKA.CO.ID, Ketika berjanji membuat tulisan tentang Gothenburg di depan rekan-rekan PPI dan Ibu Lingga Hakim (Duta Besar RI untuk Swedia 2006-2010), saya tidak membayangkan akan sesulit ini memulainya. Padahal, janji itu sudah saya tunda hampir 4 tahun.
Semula saya tunda janji itu karena ingin memiliki “jam terbang” yang lebih memadai untuk lebih mengenal dan lalu menulis tentang Gothenburg. Lalu ada “alasan” lain yaitu amandemen konstitusi Swedia yang mewajibkan tution fee untuk pendidikan tinggi di Swedia, yang saya duga akan berdampak pada suasana Gothenburg.
Tapi apapun itu, ternyata, menunda pekerjaan memang selalu “nikmat” di awal dan “pahit” di akhir. Dan saya telah mendapat pelajaran berharga untuk tidak lagi menunda pekerjaan sebab pada akhirnya pekerjaan itu tetap harus dikerjakan juga dan bahkan menjadi kurang “nikmat” karena terasa seperti “terpaksa”. Anyway, sekarang saya harus mulai menulis dan membayar janji saya.
Karena bukan tipikal pengelana saya bukanlah orang yang tepat untuk bercerita tentang pojok santai, tempat shoping terbaik atau hal-hal sejenisnya di Gothenburg. Saya tidak malu untuk mengaku bahwa saya hanya tahu ujung Kampus Chalmers dan sepanjang area Park Avenue.
Tapi jangan khawatir, tulisan dan informasi detail tentang Gothenburg sendiri tidaklah sulit ditemukan. Setidaknya snapshot tentang kota ini bisa ditemukan di Wikipedia dan website resmi kota Gothenburg. Begitu juga buku-buku tentang kota ini tidak-lah sulit ditemukan.
Tentu saya tidak ingin mengulang isi tulisan-tulisan tersebut. terlebih saya sendiri sangat miskin pengalaman traveling di Gothenburg. Jadi, saya berharap bisa dimaklumi jika tulisan ini tidak akan berisi sejarah kota Gothenburg, tips dan trik atau info untuk menemukan kuiner enak, makanan murah atau kapan dan dimana bargain sale bisa ditemukan di Gothenburg dan sejenisnya. Saya hanya ingin berbagi apa yang saya rasakan sebagai seorang warga Indonesia pernah hidup dan belajar di kampung Gothenburg.
Mahal atau murah?
Satu pertanyaan yang sering muncul ketika seorang calon mahasiswa hendak mengambil studi di Gothenburg adalah biaya kuliah dan biaya hidup. Saat ini, dengan berlakunya ketentuan tuition fee bagi mahasiswa non-EU sejak 2011 tampaknya biaya pendidikan di Gothenburg tidak jauh beda dengan biaya di UK, US atau Australia.
Padahal sebelumnya sekolah disini bisa dibilang sangat murah sekali kalo tidak bisa disebut gratis (per semester kita hanya perlu membayar student union fee yang besarnya hanya kurang dari 200 kronor atau sekitar 260 ribu rupiah saja).
Selain itu, peluang beasiswa bagi mahasiswa dari negara “setengah maju” seperti Indonesia juga tidak terlalu banyak tersedia. Jadi jelas, dari sisi biaya pendidikan, Swedia dan Gothenburg khususnya tidak banyak berbeda dengan belahan dunia yang lain bahkan mungkin sedikit lebih mahal dengan peluang beasiswa yang lebih terbatas.
Untuk biaya hidup, sebagaimana kota-kota di negeri Scandinavia yang lain, Gothenburg juga terbilang tidak murah, sebab disini tarif pajak penjualan rata-rata 15-25 persen. Jadi secara teori harga barang-barang konsumsi relatif terasa lebih mahal. Sebagai contoh, untuk lunch menu di restoran regular, harga rata-rata adalah 55-70 Kronor, atau sekitar 75-85 ribu rupiah.
Khusus untuk makanan, biasanya take-away menu lebih murah daripada yang dimakan di tempat. Selain itu seringkali ukuran porsi makanan Swedia terlalu besar untuk saya, sehingga kadang untuk saya bisa cukup untuk dua kali makan. Namun demikian, harga di kantin kampus masih bisa dibilang terjangkau (bisa 40-50 persen lebih murah).
Jika anda jago memasak dan mau masak sendiri, tentu pengeluaran akan bisa lebih ditekan. Tapi bagi saya yang single, memasak sendiri seringkali tidak efisien bahkan lebih mahal karena masakan yang dibuat kadang gosong atau tidak “eatable”. Jangan khawatir, makanan halal juga bisa dijumpai di Gothenburg, seperti sushi, makanan favorit saya, kebab turki maupun vegetarian menu. Ada juga Thai food yang menyediakan menu halal, satu diantaranya berlokasi di sekitar Central library Gothenburg University.
Untuk barang-barang perabot sudah pasti gampang mendapat harga yang “terjangkau, sedangkan untuk alat eletronik baru agak sulit menemukan harga murah disini. Tetapi jika anda sangat memerlukan satu barang dan budget anda terbatas, toko barang second hand cukup banyak bertebaran disini.
Alternatifnya anda bisa mencari di situs-situs online local semacam www.blocket.se, www.tradera.se, atau www.komplett.se yang menawarkan berbagai macam barang bekas hingga kamar kos. Agar lebih efisien, perhatikan lokasi atau kota dimana barang yang dijual bisa diambil. Umumnya memang web-web tersebut berbahasa Swedia, tetapi dengan google translator transaksi tetap cukup mudah untuk dilakukan.
Bahkan dalam banyak kasus, sang penjual bisa berbahasa Inggris dengan baik. Atau alternatif terakhir, cobalah bertanya pada senior-senior anda, barangkali ada stok warisan dari mahasiswa sebelumnya yang sudah selesai study yang bisa anda pakai.
Dingin atau dingin sekali?
Pertanyaan kedua yang sering ditanyakan adalah tentang cuaca. Sudah pasti Gothenburg jauh lebih dingin dari Jakarta karena lokasinya jauh lebih dekat ke kutub utara. Suhu terdingin udara luar yang pernah saya hirup di Gothenburg adalah minus 14 derajat pada sekitar pukul 9 pagi.
Sebenarnya suhu rendah itu biasa, tetapi ada 2 hal yang membuatnya menjadi kurang nyaman. Pertama angin, sebab ketika udara dingin berkolaborasi dengan hembusan angin keras, maka rasa dingin menjadi sangat dingin. Lebih parah lagi jika suasana itu dikombinasikan dengan menghilangnya sinar matahari untuk jangka waktu lama (siang lebih pendek dari pada malam), maka lengkaplah alas an untuk berdiam diri di kamar.
Gambar 1. Musim dingin di Swedia
Namun demikian, ada sisi positif yang dihasilkan dari cuaca kurang bersahabat tersbut, yang saya duga juga menjadi alasan kenapa Gothenburg memiliki banyak penduduk yang “produktif”, terutama sepanjang Winter sebagaimana diklaim pendiri SKYPE, Niklas Zennström. Saya sendiri, akibat cuaca dingin ini jadi lebih rajin menulis dan tak kurang 30 diantaranya terpublikasi baik di seminar, jurnal maupun berupa thesis.
Selain itu, meski musim dingin di Gothenburg lebih ekstrim dibanding misalnya dengan musim dingin di Tokyo, tetapi karena manajemen kota dan sistem pemanas yang tertata dengan baik, saya merasakan kenyamanan yang cukup memadai. Di Tokyo, kadang jika anda kurang beruntung anda harus mengkombinasikan heater dengan AC. Atau bahkan jika bangunan kamar kos anda kurang standard, misalnya berlantai kayu, maka dijamin musim dingin di Tokyo bisa terasa jauh lebih menyiksa dibanding musim dingin di Gothenburg.
Mengapa Gothenburg ?
Berdasarkan pengalaman saya studi di tiga negara, saya meyakini ada kota terbaik untuk belajar bagi setiap orang. Dan hanya yang bersangkutan yang tahu kota apa itu. Bagi saya, bagaimanapun caranya, Gothenburg telah mentransformasi diri saya menjadi pribadi yang lebih produktif dan lebih baik.
Lokasinya yang lebih dari 10.000 KM dari Jakarta, membuat saya tidak banyak berpikir untuk pulang kampung. Sehingga konsentrai lebih kepada bagaimana menyelesaikan studi sesegera mungkin. Atau setidaknya, jika memang hasrat ingin pulang sudah tak tertahanakan, saya menjadi sangat terencana dalam memikirkan cara efisien cara untuk pulang.
Gambar 2. Kampus Chalmers dan Gothenburg University di Lindholmen
Gothenburg juga memberi kesempatan kepada saya untuk menyaksikan indahnya keragaman hidup berdampingan. Disini wanita berbusana tertutup bahkan menggunakan penutup wajah (burka) hidup berdampingan dengan wanita berbusana mini bahkan berbikini di taman-taman kota. Diskriminasi dengan alasan apapun sangat sulit dijumpai dan diancam dengan sangsi yang keras. Sangat mengagumkan melihat anak-anak kecil dari beragam etnis belajar di tempat dan fasilitas yang sama dengan guru yang sama. Mereka bermain dan bercanda tanpa terlihat canggung dengan rekan sebaya yang berbeda warna kulit. Kebebasan beragama juga sangat dihormati. Saya bahkan takjub melihat mushola dan bahkan unit kerohanian Islam berdiri di Chalmers dan menjadi bagian yang setara dengan unit kegiatan lain dalam student union. Sesuatu yang tidak pernah saya duga sebelumnya akan terjadi di negeri yang berbendera Salib.
Satu hal lagi, dan ini menurut saya cukup penting, adalah tersedianya kesempatan untuk merasakan harmoni kehidupan dengan alam di Gothenburg. Saya akan selalu merindukan saat-saat berjalan kaki ke kampus yang selalu diiringi kicauan aneka burung di taman-taman seniktar kampus dan asrama yang menyambut siulan saya. Burung-burung itu begitu bebas beterbangan kesana kemari tanpa rasa takut ada orang yang akan menggangu. Kicauan mereka terasa begitu bersemangat dan menyiratkan kebahagiaan. Bukan lolongan kesepian karena terkungkung atau merindukan kawan. Bagi saya, kicauan itulah yang sering menginspirasi saya untuk berpikir merdeka, bebas dari rasa takut, dan penuh semangat.
Segarnya udara yang dihembuskan pohon-pohon disepanjang jalan dan daun-daun yang berserakan sepanjang jalan menjadi ramuan tersendiri yang seringkali menyihir saya untuk berpikir dan apa adanya. Bebas dari rasa khawatir dan meresapi kedamaian meskipun target dan beban pekerjaan bertumpuk. Tentu burung-burung dan pepohonan di Gothenburg juga bisa kita jumpai di kota lainnya. Tetapi entah mengapa hanya di Gothenburg saya mampu “berhenti” dan “meresapi” keberadaan mereka.
Itulah kesan saya tentang Gothenburg, kota kenangan yang selalu saya rindukan hembusan udara segarnya.
Daftar Universitas di Gothenburg Swedia:
1. Chalmers University of Technology (www.chalmers.se)
2. Gothenburg University (www.gu.se)
Penulis: Mohammad Tsani Annafari (PPI Swedia)