Senin 25 Aug 2014 21:00 WIB

Kemampuan Bank Indonesia Batasi Utang Diragukan

Red: operator

JAKARTA — Rencana Bank Indonesia membatasi utang luar negeri (ULN) pihak swasta dinilai tepat. Namun, langkah ini diragukan bisa direalisasikan maksimal. "Saya ragu apakah BI bisa mengatur utang luar negeri swasta yang nonbank. Kalau perbankan, BI memang harus diminta persetujuan jika ingin berutang di luar negeri," ujar Kepala Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih kepada Republika, Ahad (24/8).

Sejauh ini, kewenangan BI hanya mengimbau agar ULN yang ada dilaporkan. Ini supaya semua utang terdata dengan lebih baik. Lana menambahkan, BI pun belum punya wewenang agar pihak swasta melakukan hedging (lindung nilai).

Meskipun BI memungkinkan untuk mewajibkan hedging bagi perbankan, pihak swasta hanya mau melakukan hedging jika pemerintah memberikan insentif tertentu. "Hanya pemerintah yang bisa melakukan pembatasan ULN," kata Lana.

Pemerintah bisa mengupayakan hal ini dengan memperhitungkan rasio utang terhadap transaksi berjalan atau debt service to ratio (DSR) yang dianggap wajar. Lana mencontohkan, perusahaan yang memiliki pendapatan dalam rupiah semestinya tidak dibiarkan secara berlebihan mengambil ULN agar DSR menjadi kecil.

Agar mitigasi risiko berjalan maksimal, BI bisa mewajibkan pihak swasta yang memiliki ULN memiliki simpanan valuta asing (valas). Jumlah valas yang diwajibkan sebesar tiga kali cicilan. Valas tersebut juga wajib disimpan dalam bank dalam negeri dan tidak fleksibel untuk digunakan. Dengan menyimpan di bank domestik, BI maupun pemilik dana bisa mengantisipasi krisis, termasuk gagal bayar.

"Selama ini kan tidak begitu, utang ya utang saja. Tidak ada kewajiban untuk memiliki simpanan tertentu," kata Lana. Utang luar negeri pada Juni mencatatkan kenaikan menjadi 284,9 miliar dolar AS, meningkat 8,6 miliar dolar AS atau 3,1 persen dibandingkan posisi akhir kuartal I 2014. Utang swasta masih menjadi penyebab kenaikan utang.

Peningkatan ini membuat rasio pembayaran utang dan bunga terhadap jumlah penerimaan transaksi berjalan atau debt to service ratio (DSR) pada Juni 2014 meningkat dari 46,42 persen pada kuartal I 2014 menjadi 48,28 persen. “DSR cukup berbahaya. Hampir 50 persen. Padahal, level aman 30 persen,” ujar Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual, Rabu (20/8). BI pun berencana mengeluarkan aturan tentang pengelolaan utang swasta ini pada semester II.

Ekonom Indef Listianto mengatakan, utang luar negeri jika dilihat dari sisi kuantitas masih belum berbahaya. Karena, saat ini porsi utang luar negeri sebesar 30 persen dibandingkan produk domestik bruto. Hanya, persoalan utang luar negeri Indonesia ini ternyata akibat kebijakan pemerintah. Bunga acuan Bank Indonesia yang tinggi membuat swasta lebih memilih berutang ke luar negeri.

rep:meiliani fauziah/ichsan emrald alamsyah ed: teguh firmansyah

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement