JAKARTA — Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level 7,5 persen. Suku bunga acuan telah bertahan pada level tersebut sejak November tahun lalu.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara mengatakan, kebijakan tersebut masih konsisten untuk menuju sasaran inflasi dalam kisaran 3,5-5,5 persen untuk tahun ini. "Inflasi tiga hingga lima persen pada 2015 serta menurunkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat," ujarnya, Kamis (12/6).
BI juga memutuskan untuk mempertahankan bunga kredit di level 7,5 persen. Sedangkan, bunga simpanan di level 5,75 persen. Bank sentral terakhir kali menaikkan BI Rate pada November 2013 dari posisi Oktober 2013 sebesar 7,25 persen.
Selain itu, BI mencermati potensi tekanan inflasi yang berasal dari pola musiman perayaan jelang Lebaran dan risiko lainnya, seperti potensi tekanan penyesuaian harga yang ditentukan pemerintah (administered prices). Pun, peningkatan harga pangan akibat dampak El Nino.
Tirta mengatakan, pihaknya akan bekerja sama dengan pemerintah untuk menjaga inflasi agar tetap sejalan dengan pencapaian sasaran inflasi yang ditargetkan. "Dalam mengantisipasi risiko tersebut, Bank Indonesia akan memperkuat koordinasi pengendalian inflasi, khususnya melalui forum Tim Pengendali Inflasi (TPI) dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID)."
Inflasi pada Juni 2014 sendiri relatif terkendali sesuai dengan pola musimannya. Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Juni mencatat inflasi sebesar 0,43 persen per bulan atau 6,7 persen secara tahunan. Tirta menuturkan, meningkatnya inflasi bulanan pada Juni sesuai dengan pola musiman menjelang Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri.
Menurutnya, inflasi masih menunjukkan tren yang menurun. Inflasi menjelang Ramadhan didorong oleh inflasi harga bergejolak yang mencapai 1,06 persen per bulan atau 6,74 persen secara tahunan.
Selain itu, inflasi inti masih terkendali dan relatif stabil di kisaran 0,25 persen per bulan atau 4,81 persen dari tahun ke tahun.
Di sisi lain, inflasi administered prices sedikit meningkat menjadi 0,45 persen per bulan atau 13,47 persen per tahun. Hal ini terutama disebabkan oleh penyesuaian tarif listrik untuk pelanggan rumah tangga dengan daya listrik minimal 6.600 voltampere.
Direktur Senior Fitch Hong Kong Andrew Colquhoun mengatakan bahwa upaya pemerintah dan BI dalam memperketat kebijakan moneter dan menerapkan nilai tukar yang lebih fleksibel telah memberikan efek positif pada posisi eksternal. Defisit perdagangan Mei 2014 tercatat 2,4 miliar dolar AS dibandingkan posisi tertinggi di 9,1 miliar dolar AS pada September 2013.
Cadangan devisa meningkat sebesar 8,3 persen. Pengetatan kondisi moneter juga telah mengendalikan inflasi menjadi 6,7 persen dan memperlambat pertumbuhan kredit menjadi 17,4 persen. Indonesia rentan terhadap tekanan eksternal karena neraca transaksi berjalan membalik menjadi defisit pada 2012.
Defisit juga disebabkan oleh tingginya ketergantungan terhadap komoditas di tengah menurunnya harga ekspor utama Indonesia. Pengaruh melemahnya rupiah terhadap biaya impor bahan bakar telah mendorong pemerintah untuk menaikkan proyeksi defisit anggaran menjadi 2,4 persen dari produk domestik bruto (PDB) 1,7 persen.
Fitch berpendapat, asumsi dalam pengeluaran subsidi kemungkinan sulit dicapai tanpa adanya revisi lebih lanjut dari harga bahan bakar minyak (BBM) eceran. Selain dampak atas fiskal akibat meningkatnya biaya energi, juga tetap terdapat risiko yang berasal dari meningkatnya gejolak pasar keuangan sehubungan dengan potensi pengetatan oleh The Fed.
Tren pertumbuhan Indonesia sangat penting bagi profil kredit. Fitch berpendapat, reformasi struktural untuk meningkatkan produktivitas akan mendukung prospek untuk mendapatkan pertumbuhan kembali ke tingkat 2008, yaitu di atas enam persen secara berkelanjutan. rep:satya festiani ed: fitria andayani