JAKARTA -- Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menggunakan pasal yang tidak didakwakan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau ultra petita untuk memutus dugaan suap pengurusan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan terdakwa Susi Tur Andayani. Dua dari lima hakim pun menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion) atas vonis tersebut.
Majelis hakim yang dipimpin Gosyen Butarbutar memvonis Susi lima tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider tiga bulan kurungan. Putusan tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa, yaitu tujuh tahun dan denda Rp 250 juta subsider tiga bulan penjara.
Namun, putusan tersebut berdasarkan Pasal 6 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal tersebut tidak termuat dalam dakwaan jaksa. Penuntut Umum mendakwa Susi dengan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Hakim menyatakan, Susi tidak terbukti melakukan pelanggaran sesuai pasal tersebut karena aturan itu mengenai hakim yang menerima suap."Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakuan tindak pidana korupsi secara bersama-sama," kata Gosen di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (23/6).
Hakim menyatakan, Susi terbukti terlibat dalam upaya penyuapan Akil Mochtar selaku Ketua MK pada 2013 untuk penanganan sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Lampung Selatan dan Lebak, Banten.
Menurut hakim, Susi memang belum sempat memberikan uang Rp1 miliar kepada Akil sebagai suap untuk pengurusan sengketa pilkada Kabupaten Lebak. Namun, hal itu itu tidak membatalkan pidana Susi. Apalagi, Susi belum memberikan uang tersebut karena sudah ditangkap KPK pada 2 Oktober 2013.
Hal-hal yang memberatkan, hakim menyebutkan, terdakwa selaku praktisi hukum/advokat seharusnya menjalankan profesinya dengan memegang kode etik advokat. Kedua, perbuatan terdakwa menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, khususnya MK.
Ketiga, perbuatan terdakwa dapat merusak nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan pemilukada. "Keempat, terdakwa tidak mendukung program pemerintah memberantas korupsi, kolusi, nepotisme," ujar Gosyen.
Berbeda pendapat
Dua hakim, Sofialdi dan Alexander Marwata, menyatakan pendapat berbeda. Keduanya berpendapat Susi Tur seharusnya dibebaskan dari dakwaan. Alexander menyebutkan, hakim telah melampaui kewenangannya dengan menggunakan pasal di luar yang tercantum dalam surat dakwaan.
Menurut Alexander, hal ini memberikan kelonggaran pada kecerobohan yang dilakukan penuntut umum. "Hal ini akan memberikan efek buruk karena tidak menutup kemungkinan penuntut umum akan membuat surat dakwaan asal-asalan dengan harapan dapat dibuktikan di persidangan," kata dia.
Atas putusan tersebut, Susi menyatakan pikir-pikir. Jaksa KPK Edy Hartoyo mengatakan, penuntut umum menggunakan Pasal 12c karena menempatkan Susi sebagai pemberi suap yang bekerja sama dengan hakim, yaitu Akil. rep:gilang akbar prambadi/antara ed: ratna puspita