Dinasti Ottoman menolak menjual Tanah Palestina.
Sejarah krusial Gaza berada di abad ke-20, saat berkonflik dengan Israel. Puncaknya adalah meletusnya Intifada pertama dan kedua dalam melawan pendudukan dan pendudukan Zionis Israel.
Dick Doughty dalam artikelnya "Gaza: Contested Crossroad" menulis Gaza masih berada dalam keadaan kondusif saat Dinasti Turki Usmani merebutnya dari Dinasti Mamluk pada 1516. Dinasti Turki Usmani mulai membuka diri untuk kunjungan warga Prancis ke Gaza sejak sekira 1660-an. Bahkan, Napoleon sempat berada selama tiga hari di Gaza pada 1799 dan menempati rumah Raja Ridwan.
Firas Alkhateeb dalam "The Nakba: The Palestinian Catastrophe of 1948" di laman Lost Islamic History menulis, pada 1800-an, Eropa melahirkan gerakan nasionalisme yang juga memengaruhi orang-orang Ya hudi di sana. Gerakan ini melahirkan gerakan Zionisme, pendirian negara Ya hudi ketika mengalami tekanan dan dis kriminasi di Eropa, Yahudi berinisiatif mendirikan negara sendiri.
Usai Kongres Zionis I pada 1897, Ge rakan Zionisme memutuskan Palestina sebagai tempat berdirinya negara Yahudi.
Saat itu, Palestina, termasuk Gaza di dalam nya, masih merupakan bagian wilayah mi lik Dinasti Turki Usmani.
Pemimpin Gerakan Zionisme Theodor Herzl sempat menawarkan transaksi pe le pasan tanah Palestina dari Dinasti Tur ki Usmani dengan tawaran 150 juta poundsterling kepada Raja Abdulhamid II. Namun, Palestina tetap dipertahankan menjadi bagian Dinasti wilayah Turki Usmani.
Saat Perang Dunia Pertama pecah, Inggris menduduki Palestina pada 1917. Tak lama berselang, Inggris mendeklarasikan dukungan berdirinya negara Yahudi di Palestina. Setelah perang, Palestina berada di bawah Liga Mandat Negara Inggris pada 1920.
Saat itulah arus emigrasi Yahudi ke Tanah Palestina bermula. Berdasarkan data sensus Inggris, dalam 25 tahun sejak 1922, jumlah warga Yahudi di Palestina mencapai 553.600 jiwa.
Tak lagi bisa mengendalikan teritori, Inggris meninggalkan Palestina pada 1940an dengan Mandat Palestina. Di tahun yang sama pula, Israel mengumumkan berdirinya negara Yahudi bernama Israel.
Perang pecah antara Palestina dan Israel yang membuat lebih dari 700 ribu warga Palestina mengungsi ke berbagai negara tetangga, inilah peristiwa yang dikenal sebagai Nakba.
Desakan Israel untuk menguasai Se menanjung Sinai, Gaza, Tepi Barat, Ye rusalem, dan Dataran Tinggi Golan kian menjadi sehingga terjadi Perang Enam Hari pada 5 hingga 10 Juni 1967. Wilayah Tepi Barat dan Yerusalem berada di bawah kendali Yordania.
Sementara Gaza berada di bawah kepemimpinan Mesir dan Dataran Tinggi Golan juga lebih kuat dipengaruhi Suriah.
Invasi Israel membuat ketiga negara membuat pertahanan bersama di bawah komando Mesir. Dewan Keamanan PBB menginisiasi genjatan senjata antara kedua kubu.
Pada 1978, diadakan perundingan an tara Israel dan Mesir di Camp David. Israel mengembalikan Semenanjung Sinai kepada otoritas Mesir. Pembicaraan mengenai otonomi Gaza dan Tepi Barat juga sempat disinggung.
Namun, tidak berujung solusi karena Palestina yang diwakili Palestinian Libera tion Organization (PLO) tidak menerima pem batasan otonomi dalam usulan itu.
Ke ti dak-sepakatan ini menimbulkan kon flik lanjutan seperti penyerangan lokasi pengungsi Palestina di Lebanon pada 1982.
Di laman resminya, Maan News memuat jejak gerakan Intifada. Pada 9 Desember 1987, Gaza menggelorakan gerakan Intifada atas serangan Israel di distrik pengungsi Jabalya di Gaza yang menewaskan empat orang dalam mobil yang mengantar pekerja Palestina.
Gerakan perlawanan ini tidak hanya dilakukan terbuka dengan menyerang tentara Israel di jalan dan demonstrasi, tapi juga boikot terhadap produk Israel dan serangan balik melalui bom bunuh diri.
Israel melakukan serangan balik dengan tindakan represif disertai penutupan fasilitas publik bagi warga Gaza.
Gerakan Intifada terus berlangsung hingga 1991, sampai akhirnya Dewan Ke amanan PBB didesak untuk menggelar perundingan antara Israel dan PLO di Oslo pada 1993. Saat itu Gaza diakui sebagai daerah otonom di bawah Otoritas Nasional Palestina pada 1994.
Gerakan ini kembali bangkit pada 2000 saat mantan perdana menteri Israel Ariel Sharon dan seribu polisi Israel masuk Masjid al-Aqsa, demikian ditulis Jon Elmer dalam artikelnya `Remembering the Second Intifada' di laman Aljazirah.
Saat itu pula, Israel terus melakukan serangan hingga 2004. Sejumlah tokoh Gaza wafat dalam serangan Zionis secara terpisah, seperti Sekretaris Jenderal Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP) Abu Ali Mustafa pada 2001 serta dua tokoh Hamas Syekh Ahmad Yassin dan Abdel Aziz Rantissi pada 2004.
Serangan Israel ke Gaza makin intensif sejak otoritas Gaza menolak mengakui Israel sebagai entitas negara pada 2006.Sejak itu Israel melakukan operasi militer berulang seperti Operation Cast Lead pada 2008 hingga 2009 dan Operation Pillar of Deffense pada pada 2012. Pada 2014 ini Israel kembali mengguncang Gaza melalui serangan militer Operation Protective Edge.
Konflik ini tidak bisa dilepaskan dari peran dua faksi politik di Palestina, Hamas yang berbasis di Gaza dan Fatah yang berbasis di Tepi Barat. Selama ini, Israel bersedia melakukan pembicaraan dengan Fatah.
Namun, saat belakangan Fatah menyatakan persatuan dengan Hamas, Israel meno lak pembicaraan dengan Fatah. Hampir sebagian besar serangan Israel ke Gaza diatasnamakan serangan terhadap Hamas yang menolak mengakui Israel sebagai negara.
Jiwa baru
Meski bombardir tentara Zionis memakan banyak korban jiwa, populasi Gaza tak surut. Gaza merupakan wilayah terpadat di dunia dengan kepadatan penduduk 5.109 jiwa per kilometer persegi pada Maret 2014.
Pertumbuhan pesat ini mulai terlihat setelah Perang Dunia I. Populasi Gaza mencapai 40 ribu jiwa. Jumlah ini terus meningkat menjadi lebih dari 300 ribu jiwa pada awal 1990-an.
Berdasarkan data Civil Status and Passport Department yang dimuat, Kementerian Dalam Negeri
Pemerintah Gaza di laman al-Monitor, jumlah kelahiran di Gaza pada 2013 mencapai 56 ribu jiwa.
Sejak Januari hingga Maret 2014, angka kelahiran bayi di Gaza sudah lebih dari 13 ribu jiwa.
Total populasi Gaza saat ini sudah mencapai sekitar 1,8 juta jiwa. United Nations Relief and Works Agency (UNWRA)
dalam laporannya pada 2012 memprediksi populasi Gaza akan mencapai 2,1 juta jiwa pada 2020.
Fertilitas wanita Gaza pada 2014 diprediksi mencapai 5,7 bayi per ibu. Sebelumnya pada 2013, fertilitas wanita Gaza masih 4,4 per ibu. Setengah populasi Gaza pada 2013 berada pada usia produktif 15 hingga 54 tahun. rep:fuji pratiwi ed: nashih nashrullah