Ahad 06 Mar 2016 20:36 WIB

Tuan Guru Ijai Sang Teladan dari Tanah Kalimantan

Red: operator

Ia mendapat anugerah yang luar biasa dari Sang Khalik berupa kecerdasan otak.

 

Bagi masyarakat Kalimantan, terutama Martapura dan Banjarmasin, nama Tuan Guru Ijai, tidak lagi asing, bahkan melegenda dan melekat dalam ingatan mereka. 

Apalagi, sejumlah buah pemikirannya terdokumentasikan dengan apik dan bertahan hingga detik ini.

Di antaranya Risalah Mubarakah, Ma naqib asy-Syekh as-Sayyid Muhammad bin Abdul Karim al-Qadiri al-Hasani as-Samman al-Madani, ar-Ri sa latun Nuraniyah fi Syarhit Tawassulatis Sammaniyah, dan Nubdzatun fi Manaqib al-Imam al-Masyhur bi al-Ustadz al-A'zham Muhammad bin Ali Ba'alawy. 

Tak hanya dikenal mahir mengarang kitab-kitab berbahasa Arab, sosok kelahiran Martapura Timur, 11 Februari 1942, itu adalah guru sekaligus teladan umat sepanjang masa. 

Pemilik nama lengkap KH Muhammad Zaini Abdul Ghani itu terkenal sebagai sosok karismatik yang tidak hanya unggul dalam bidang agama, tetapi juga peduli terhadap sosial.

Tuan Guru Ijai, begitu akrab disapa, selalu memberikan nasihat- nasihat mulia kepada para murid di majelisnya. Petuah yang terkenal di ka langan muridnya, antara lain, penting nya berbaik sangka terhadap sesama Muslim, murah harta, manis muka, tidak menyakiti orang lain, dan mengampuni kesalahan mereka. Tentu, kesemua nasihatnya itu tak terlepas dari tuntunan-tuntan ajaran agama yang luhur. 

Kisah tentang pertobatan seorang perampok tersohor seantero Kalimantan di hadapan Guru Ijai, menguatkan tentang ketajaman mata hatinya. Sang perampok mengakui dan sadar atas kesalahannya di depan Guru Ijai dan akhirnya meminta untuk dibimbing ke jalan yang lurus. 

 

Keluarga Putra pertama dari pasangan Abdul Ghani bin H Abdul Manaf bin Muhammad Seman dengan Hj Masliah binti H Mulya bin Muhyiddin ini lahir dari keluarga yang menjunjung tinggi ajaran agama. Garis keturunan nasab Guru Sekumpul, begitu akrab disapa, sangat terhormat dan terjaga. Ia adalah keturunan kedelapan tokoh besar Banjar, Maulana Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah al- Banjari.

Qusyairi, demikian sapaan kecil sang yokoh, mendapat didikan langsung dari kedua orang tuanya. Didikan inilah yang membentuk karakter Qusyairi kecil sebagai pribadi yang memiliki sifat penyabar, ridha, dan penuh kasih sayang. Hidup dalam kesederhanaan justru menempa dirinya kuat menghadapi berbagai cobaan, termasuk agar ia bersikap qanaah. Menghindari keluh kesah yang tak berujung. 

Qusyairi kecil terbiasa untuk hidup seadanya, bahkan kekurangan. 

Sebuah kisah diriwayatkan bahwa sewaktu kecil ia terbiasa makan satu nasi bungkus dengan lauk satu biji telur yang dibagi untuk empat, yaitu ayah, ibu, ia sendiri, dan adiknya, Hj Rahmah. 

Meski kehidupan ekonomi orang tua sulit, tidak membuatnya patah arang dalam memberikan pendidikan agama yang berkualitas. Untuk itu, ayah dari Tuan Guru Ijai tidak membiarkan anaknya jauh-jauh dari pantauannya. 

Abdul Ghani bin Abdul Manaf ayah Yuan Guru Ijai selalu menanamkan kedisiplinan dalam pendidikan tauhid dan akhlak serta mewajibkan hafal Alquran dengan tafsirnya sebelum menimba ilmu di luar.

Selain kedua orang tuanya, sosok nenek, Salbiyah, berkonstribusi pula dalam proses pendidikan Guru Ijai. Asupan tauhid, akhlak, dan kedisiplinan mereka berikan kepadanya serta ilmu agama lainnya, seperti membaca Alqur an. 

 

Cerdas Qusyairi kecil mendapat anugerah yang luar biasa dari Sang Khalik berupa kecerdasan otak. Ia mampu menghafal Alquran pada usia tujuh tahun, ketika ia mulai masuk ke pendidikan madrasah di Madrasah Ibtidaiyah Darussalam, Martapura, tepatnya pada 1949. 

Cerita tentang daya ingatannya yang kuat itu pun tersohor ketika ia berhasil menghafal kitab tafsir Jalalain saat berusia sembilan tahun. Pada 1955 ketika berusia 13 tahun, ia melanjutkan ke jenjang menengah pertama di lembaga yang yang sama. 

Ia mulai menimba ilmu dari sejumlah guru terkemuka. Di antaranya, Syekh al-Fadhil Sya'rani Arif, al-Fadhil Salim Ma'ruf, dan Syekh Salman Jalil, pakar ilmu falak yang unggul di masa itu. 

Ia juga pernah berguru ke musnid ad- dunya, Syekh Yasin bin Isa Padangi. 

Sosok yang berperan membentuk kerangka keilmuan sang tokoh adalah Syekh Seman Mulya yang tak lain adalah pamannya sendiri. Guru Semanlah yang berjasa mengarahkan Guru Ijai untuk menimba ilmu ke para pakarnya secara langsung. 

Guru Seman bahkan mengantar sendiri keponakannya itu ke ulama spesialis ilmu tertentu. Hal ini pernah dilakukan saat Guru Ijai belajar ke Syekh Anang Sya'rani yang mumpuni di bidang tafsir dan hadis. 

Di bidang tasawuf, ada dua nama ulama yang menjadi `kiblat' berguru, yaitu Syekh Syarwani Abdan Bangil dan Sayid Muhammad Amin Kutbi. 

Proses transfer ilmu di ranah olah spiritual itu berjalan mulus. Ini tak terlepas dari modal kejernihan hati yang dimiliki oleh sang ulama. 

Pada usia 10 tahun bahkan ia telah memiliki keutamaan berupa penglihatan tanpa batas kasyaf hissi. Atas seizin Allah, ia mampu melihat dan mendengar di dalam atau di luar dinding. 

Pada 10 Agustus 2005, sang tokoh meninggal dunia di usia 63 tahun. Ia meninggalkan warisan berharga dalam dunia olah spiritual. c62, ed: Nashih Nashrullah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement