Di kedai bakso sebelah Hotel Palemo, Wamena, Jayawijaya, seorang paruh baya mendekati meja kami. Kulitnya hitam khas warga asli. Bapak ini lalu menggunakan bahasa isyarat, menunjuk ke mangkuk berisi kuah sisa makan malam kami. Seorang pelayan dengan sigap berbicara kepada bapak itu. Setelah beberapa kali berkata tidak, pelayan itu dengan sopan mengusir bapak tadi. Bapak tadi rupanya hendak meminta sedekah dari sisa makanan. Pemandangan tersebut sudah menjadi hal biasa di Wamena.
Pantauan Republika, warga asli sering mendatangi pendatang untuk meminta makan. Hanya, warga pendatang yang trauma sering kali menolak permintaan itu. Bapak tadi, misalnya. Pemilik kedai bakso curiga jika diberikan, mereka akan kembali lagi dan meminta denda.
"Mereka akan mengaku merasa sakit perut karena memakan makanan yang tadi diberikan, lalu meminta denda," ujar Mukri Nasution, seorang dokter yang berdinas di RSUD Wamena. Denda pun tergolong mahal. Harga nyawa seseorang sama dengan nilai puluhan ekor babi. Sebagai gambaran, harga seekor babi di Wamena mencapai Rp 30 juta. Jika terjadi kecelakaan yang menimpa warga asli, pendatang harus membayar denda. Tidak penting siapa yang salah. "Makanya hati-hati kalau keluar. Salah sedikit kena denda," kata Mukri.
Tokoh Muslim asli Suku Dani, Kanos Pagawak, mengungkapkan, kebiasaan denda sudah turun-temurun berlaku di masyarakat Pegunungan Tengah. Awalnya, denda diberlakukan sebagai pengganti perang. Misalnya, jika ada seorang pemuda berselingkuh dengan istri pemuda suku lain, pemuda itu wajib menggantinya dengan denda sehingga tak terjadi perang. Begitu pula setelah perang suku. Pemenang wajib mengganti jumlah korban dari pihak yang kalah.
Jika tidak, perang tidak akan selesai karena akan terus ada tuntutan balas dendam. Di kota, banyak cerita tentang ‘kasus denda’ yang diterapkan kepada warga pendatang. Kanos pun mafhum dengan kabar tak sedap itu. Menurutnya, adat denda sudah tidak diterapkan dengan sebagaimana mestinya. "Padahal, tujuannya untuk mencegah perang," ungkap Kanos. Sekarang, alih-alih mencegah peperangan, denda kerap dijadikan alat pemerasan oleh sebagian oknum warga asli kepada pendatang.
Ia mengaku tidak tahu siapa yang memulainya. Sebenarnya, ujar Kanos, masyarakat Pegunungan Tengah memiliki dewan adat yang di dalamnya terdapat perwakilan suku-suku. Jika ada konflik yang harus diselesaikan dengan adat denda, seharusnya dewan adat tersebut turun tangan. Tokoh Muslim, Agus Sudarmaji, mengungkapkan, di satu sisi, adat denda tersebut sebenarnya sesuai dengan nilai-nilai Islam, yakni qishas. Dalam hukum itu dikatakan nyawa dibalas dengan nyawa. Akan tetapi, memaafkan mendapat nilai yang lebih baik di sisi Allah SWT.
Dalam kacamata masyarakat asli Lembah Baliem, memaafkan dilakukan dengan membayar denda. Hanya, Agus mengungkapkan, mekanisme denda seharusnya dilakukan dengan adil dan transparan.
rep:a syalabi achsan ed: ferry kisihandi