Tak sedikit umat Muslim yang belum sadar untuk bergaya hidup halal. Sebagian dari mereka masih tidak peduli kehalalan suatu produk, baik itu produk makanan, obat, multivitamin, kosmetik, maupun lainnya. Mereka asal membeli dan mengonsumsinya, tanpa memerhatikan kehalalannya. Namun, tidak demikian dengan tiga Muslimah yang bergaya hidup halal berikut ini.
Foto:Wihdan/Republika
***
Evy Savitri
Kebutuhan Spesifik
Dikaruniai buah hati pada 2001, Evy Savitri mulai selektif memilih makanan keluarganya. Saat itu, Evy tak begitu memahami seluk-beluk halal. Ia berpikir makanan yang beredar sudah pasti halal.
Enam tahun kemudian, pandangan Evy terkoreksi. Bermigrasi ke Port of Spain, Trinidad-Tobago, ia menyadari kehalalan makanan juga ditentukan oleh zat aditif yang ditambahkan kepada makanan. Contohnya, pewarna dan perisa yang berasal dari sumber nonhalal.
Sejak itu, Evy jadi lebih proaktif menanyakan kehalalan suatu makanan kepada pembuatnya. Di Trinidad, daging ayam atau sapi halal mudah dijumpai. "Saya kesulitan menemukan keju dan kudapan halal untuk anak-anak."
Selain itu, Evy juga mulai selektif ketika membeli produk pembersih dan perawatan tubuhnya. Ia memilih produk yang jelas kehalalannya. "Kalau tidak buatan Timur Tengah, saya pakai produk Amerika yang umumnya jelas mencantumkan bahan dasarnya," ungkap perempuan kelahiran Semarang, 3 Februari 1975.
Pindah ke Karakas, Venezuela, pada 2010, Evy tetap menjalankan gaya hidup halal. Awalnya, ia hanya bisa memasak telur dan udang karena tidak berhasil menemukan tempat penjualan daging halal. Ikan pun agak sulit didapat karena industri perikanan tidak begitu maju di sana. "Kami akhirnya mengetahui tempat penjualan daging halal dari Muslim asal Malaysia yang sudah lebih dahulu tinggal di Karakas."
Di Karakas, keluarga Evy membatasi jajan. Soalnya, hanya ada satu restoran halal di sana. Apalagi, belakangan mereka menjadi ragu karena mendapati pelayan restoran hanya tersenyum-senyum ketika ditanyakan soal kehalalan masakannya. "Kalau ingin makan di luar, kami kini lebih memilih restoran sushi milik keluarga Muslim atau restoran seafood yang langganan keluarga Muslim."
Saat memesan seafood, Eva memastikan makanannya tak dimasak dengan anggur, arak, atau bahan-bahan nonhalal lainnya. Untuk membeli kue, ia sudah menemukan toko terpercaya. "Saya sempat berbicara dengan pemiliknya, memastikan mereka tak menggunakan lemak babi untuk menggantikan margarin atau mentega dalam kuenya."
Bergaya hidup halal, anak-anak Evy sempat protes. Apalagi, mereka menjadi berbeda dengan kawan-kawannya yang sebagian besar tidak mengenal diet halal. Anak-anak lalu belajar untuk selalu membawa bekal dari rumah untuk makan di sekolah.
Tantangan terberat bagi Evy ada saat sekolah anaknya menggelar acara. Evy harus aktif mendiskusikan kebutuhan spesifik anak-anaknya kepada pihak sekolah agar ia bisa menyediakan makanan halal bagi buah hatinya. Lantas, jika ada undangan play date di rumah teman anaknya, ia pun mesti membicarakan agar makanan halal juga tersedia. "Ada yang dapat menerima, ada juga yang tampak kesal ketika mendengarnya, lalu tak pernah mengundang anak-anak main di rumahnya lagi," kata Evy yang saat kembali ke Indonesia pun masih sering diejek saudara atau kawan soal gaya hidupnya ini.
***
Astri Dwijayanti
Cue Card Halal
Astri Dwijayanti dan keluarga juga menerapkan pola hidup halal. Saat ini, ia dan suami sedang melanjutkan studi di Taiwan. Sejak awal menginjakkan kaki di Taiwan, ia paham betul akan sulit mendapatkan makanan halal, baik makanan berat maupun camilan.
Astri pun mencari tahu dari mahasiswa Muslim lain yang sudah lebih dulu menetap di Taiwan. Beberapa dari mereka lebih suka memasak sendiri demi menjamin kehalalan makanannya. Soalnya, masakan di Taiwan umumnya mengandung daging babi atau minyak babi. "Sebagian lain memilih makan di restoran vegetarian dengan cita rasa Taiwan," ungkap perempuan kelahiran Jakarta, 31 Desember 1985.
Enam tahun tinggal di Tainan, Taiwan, Astri sudah paham betul sumber bahan pangan halal. Daging ayam atau sapi dapat ditemukan di masjid Kota Kaohsiung yang dicapai dengan menempuh satu jam perjalanan dengan kereta. "Enam bulan terakhir, daging halal semakin mudah didapatkan setelah seorang Muslim asal Pakistan berjualan di kota tempat kami tinggal."
Untuk mendapatkan daging halal, Astri rela membayar lebih mahal karena daging halal harganya lebih tinggi ketimbang daging ayam maupun sapi yang tak terjamin kehalalannya. Produk rempah dan bumbu lainnya tersedia di toko Indonesia yang terdapat di kota tersebut. Untuk masalah jajanan, ia juga selektif. Ia hanya memilih makanan atau jajanan yang hanya dari restoran vegetarian. Selebihnya mereka cenderung makan di rumah.
Mengikuti tips teman-temannya, Astri selalu mengantongi cue card halal. Kartu tersebut berisi kode makanan yang tidak halal. "Mahasiswa Muslim Taiwan juga membuat laman pojok halal Taiwan agar kami bisa berbagi informasi produk halal atau restoran halal baru yang kami temukan di pasaran," ujar sekjen Unimig Taiwan ini.
Ketika kembali ke Tanah Air, Astri mempertahankan gaya hidup halalnya. Ia selalu mengecek kehalalan kudapan kemasan saat berbelanja. "Terus terang, dulu sebelum tinggal di Taiwan, saya tidak begitu memerhatikan bahan-bahan suatu produk untuk mengetahui kehalalannya," tutur mahasiswa doktoral jurusan Pendidikan National University of Tainan.
Sedang berada di Indonesia, Astri tetap memilih bersikap hati-hati saat hendak makan di restoran. Ia selalu menanyakan kehalalan masakannya, baik bumbu, minyak, maupun kaldunya. Proses memasaknya pun ia perhatikan betul. "Sebab, ada proses pembuatan atau penyajian yang kemudian membuat makanan menjadi haram," kata Astri yang juga tak sembarangan membeli obat dan multivitamin.
Astri berpendapat bergaya hidup halal itu penting. Ini merupakan kewajibannya sebagai Muslimah. "Alquran telah membimbing kita untuk mengonsumsi makanan yang halal dan thoyib," ujar ibu dari seorang anak perempuan berusia 16 bulan ini.
***
Dessy Rusarina
Halal dan Baik
Dessy Rusarina dan keluarga juga menerapkan pola hidup halal dalam kehidupannya sehari-hari. Ibu rumah tangga ini mengaku memilih gaya hidup halal karena menuruti perintah agama. Ia menyayangkan banyak orang yang bisa membaca Alquran, tapi tidak memahami, apalagi menerapkan isinya.
Sebagai Muslimah, Dessy ingin mengamalkan Alquran. Ia mulai dari hal yang kecil dan segera menerapkan gaya hidup halal begitu tersadar akan kewajibannya tersebut. "Jika yang masuk ke dalam tubuh sudah halal, insya Allah hasil yang dikeluarkan juga halal dan nanti di akhiratnya juga baik."
Output-nya, lanjut Dessy, juga bisa berupa akhlak yang baik. Alasan lain yang membuatnya bergaya hidup halal adalah keinginannya untuk memiliki keturunan yang baik. Ia bertekad menjadikan ketiga anaknya bisa tumbuh menjadi individu yang bermanfaat bagi orang banyak. "Tentunya, untuk bisa begitu, mereka membutuhkan modal jasmani dan rohani yang baik, salah satunya dengan mendapatkan asupan makanan yang halal sejak lahir."
Dessy mengaku kesadarannya untuk bergaya hidup halal tumbuh sekitar 2004. Kala itu, ia mendapat informasi banyak produk dari produsen pendukung gerakan Zionis beredar di Indonesia. "Cukup berat untuk menjaga gaya hidup halal karena banyak bahan dan unsur yang harus diwaspadai," ujarnya.
Pengetahuan Dessy tentang gaya hidup halal semakin bertambah sejak anaknya duduk di bangku sekolah dasar. Di sekolah dasar Islam terpadu, anak-anak Dessy diajarkan tentang kehalalan ini. "Apa yang telah dipelajari di sekolah, kami terapkan di kehidupan."
Contohnya, ketika berbelanja di toko, Dessy dan keluarga akan mencari barang produksi Indonesia. Berikutnya, mereka menyaring produk yang ada dan memilih yang telah berlabel halal. "Mungkin karena sudah diniatkan sekalian pembelajaran ke anak-anak, jadi tidak ada keinginan untuk mampir atau membeli produk nonhalal atau produk-produk yang mendukung Zionis," jelasnya.
Teguh menjalankan gaya hidup halal, keluarga Dessy tak pernah tergoda mencicipi es krim premium yang dijual di kedai es krim di berbagai pusat perbelanjaan. Mereka mengetahui es krim tersebut mengandung alkohol dan gelatin babi. "Anak-anak pun tak pernah merengek dibelikan," ujarnya.
Saat makan di luar, keluarga Dessy juga selektif memilih restoran. Andaikan restorannya tak lagi memasang sertifikat halal, mereka akan hanya akan memesan menu lama yang dulu ikut telah tersertifikasi halal. Menu barunya tak mereka cicipi. "Di samping memerhatikan kehalalan makanannya, kami juga mempertimbangkan kesopanan pakaian tim pramusajinya saat akan makan di restoran."
Selain itu, keluarga Dessy juga memerhatikan kebersihan makanan yang akan dikonsumsi. Ia mengurungkan niat untuk mencoba gado-gado yang terkenal enak di dekat rumahnya begitu mendapat informasi terpercaya tentang polah si penjual yang meletakkan sayuran dan mencucinya di kamar mandi yang airnya bisa saja tercampur dengan najis.
rep:desy susilawayti ed:reiny deinanda