Sabtu 27 Apr 2013 01:37 WIB
Harlah Fatayat NU

Fatayat NU Fokus Advokasi Perempuan

fatayat nu
Foto: .
fatayat nu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada hari jadinya yang ke-63, Fatayat Nadhlatul Ulama (NU) memfokuskan diri pada advokasi terhadap perempuan. Dari berbagai bidang yang menjadi perhatian Fatayat, ekonomi dan kesehatan perempuan menjadi fokus utama. 

Menurut Ketua Umum PP Fatayat NU Ida Fauziyah, penguatan advokasi terhadap perempuan mendorongnya untuk membuka lebar pintu bagi perempuan yang mengalami masalah. “Kantor-kantor Fatayat NU yang terletak di tingkat kecamatan terbuka lebar bagi perempuan yang ingin mengadu karena menjadi korban kekerasan,” ujarnya, Kamis (25/4).

Sebagai organisasi yang beranggotakan perempuan muda usia 20-45 tahun, Ida mengajak anggotanya lebih memperhatikan lingkungan sosial sekitarnya. Dimulai dari lingkup terkecil, yaitu keluarga. Menurutnya, para perempuan inilah yang berperan meneguhkan keislaman agar lebih dekat.

Ida menyebutkan sejumlah persoalan yang masih harus dihadapi perempuan Indonesia, di antaranya masih ada kesenjangan dalam angka partisipasi politik, kekerasan dalam rumah tangga, dan akses kesehatan. Oleh sebab itu, kata perempuan kelahiran Mojokerto ini, membangun Fatayat sama artinya dengan membangun perempuan. Dan, membangun perempuan adalah juga membangun bangsa.

Peran di bidang politik

Sekretaris II Fatayat NU Ratu Dian Hatifah mengungkapkan, peran perempuan di bidang politik masih kurang mendapat perhatian publik. Untuk itu, Fatayat melakukan kajian, seminar, dan advokasi politik pada perempuan agar kesadaran mereka tumbuh dan berkembang.

"Di internal, kita mengoptimalkan penyelenggaraan organisasi. Sebab, perempuan yang bernaung di bawah Fatayat merupakan perempuan dengan produktivitas tinggi," ujar politikus Partai Golkar tersebut, Jumat (26/4).

Selama ini, lanjut dia, tantangan yang masih dihadapi perempuan di politik lebih mengarah secara struktural. Misalnya, kesadaran suami yang rendah terhadap aktivitas atau keinginan pasangannya untuk terjun di politik.

Partisipasi perempuan di bidang politik biasanya menurun, bahkan menghilang ketika suami melarangnya.

Dian menilai, hal inilah yang menghambat partisipasi perempuan di bidang politik. Biasanya, kasus semacam ini masih ditemui di daerah-daerah. Sedangkan di ibu kota, kesadaran suami untuk mendukung kegiatan istrinya sudah tinggi. Hal ini terbukti dari aktivitas kader Fatayat yang mobilitasnya tinggi.

Ia mengakui, di tengah masyarakat Indonesia yang patriarkis, partisipasi perempuan di ruang publik masih tidak sebebas laki-laki. Usulan agar perempuan berkarier di politik juga masih ditentang sejumlah organisasi, contohnya Majelis Ulama Indonesia (MUI). 

Dian memaparkan, advokasi perempuan di bidang politik sebenarnya tercantum dalam Amanat Program Rekomendasi Fatayat NU. Sejak 1999-2013, kader Fatayat mulai melek politik. Walau secara statistik belum ada data jumlah kader Fatayat yang menjadi anggota legislatif atau eksekutif, ia meyakini jumlahnya naik setiap tahun.

Selain peduli pada partisipasi politik perempuan, Fatayat juga melakukan advokasi mengenai kesehatan reproduksi perempuan. Laki-laki, menurutnya, harus lebih memahami kondisi psikis dan fisik perempuan. Misalnya, hal tersebut harus benar-benar menjadi bahan pertimbangan sebelum memutuskan untuk memiliki anak.

Advokasi ini pernah diberikan kepada calon pengantin laki-laki dan perempuan di dua kabupaten di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 2009. Sebab, biasanya pernikahan di kedua daerah tersebut dilakukan saat pasangan masih berusia muda dan belum memahami fungsi suami-istri. Terlebih lagi bila pernikahan terjadi akibat perjodohan. n ani nursalikah ed: chairul akhmad

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement