REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Eko Maryadi mengatakan agar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik tidak membuat pernyataan yang kurang baik soal media online ke depannya. Sebelumnya, Jero Wacik mengatakan, media online seperti surat kaleng dan tidak jelas yang merupakan bentuk generalisasi yang ngawur. “Ini bisa dianalogikan dengan seluruh politikus Partai Demokrat tidak bermutu. Generalisasi semacam ini tidak benar,” kata Eko di Jakarta, Sabtu (13/7).
Eko menyarankan agar Menteri Jero mempelajari Undang-Undang Pers Nomor 40/1999. Dalam undang-undang tersebut, terdapat mekanisme hak jawab dan hak koreksi publik terhadap pemberitaan media.
Sementara itu, mantan anggota Dewan Pers Bekti Nugroho meminta Jero Wacik tak usah kebakaran jenggot jika ada media online yang membuat berita yang menurutnya tidak berkenan. “Ia bisa mengadu ke Dewan Pers. Selama ini, mediasi selalu berjalan dengan baik, media juga bersikap sportif jika memang salah dalam pemberitaan,” katanya.
Namun, ujar Bekti, perlu diklarifikasi terlebih dulu apa benar Jero Wacik menyatakan, media online seperti surat kaleng. “Saya yakin, dia punya alasan tertentu jika memang membuat pernyataan semacam itu,” ujarnya.
Tak paham
Jero Wacik, ujar Eko, mungkin tidak memahami kinerja media. Ia tidak bisa membedakan antara kinerja media online, cetak, radio, maupun TV.
“Media online itu mengandalkan kecepatan, lintas batas, ruang, dan waktu. Sedangkan, media cetak itu terbatas ruang dan waktu,” kata Eko. Media cetak, terang Eko, bisa dibaca para pembaca setelah dicetak dan disebarkan oleh loper koran. Sedangkan, media online, isi beritanya bisa dibaca pada saat real time. Ini yang harus dipahami.
Memang, hingga kini, kata Eko, masih terdapat pejabat yang meminta media untuk menyenangkan pemerintah, media tidak boleh menulis kritik. “Pejabat semacam ini merupakan pejabat sisa Orde Baru,” katanya. Pada bagian lain, Bekti juga mengatakan, media online juga harus mematuhi Undang-Undang Pers dalam melaksanakan aktivitasnya. “Ini perlu dilakukan untuk menjaga kredibilitas dan marwah media online itu sendiri,” terangnya.
Selama ini, kata Bekti, memang media yang paling banyak dikeluhkan itu adalah media online. Mereka tumbuh sangat cepat dan banyak, seperti cendawan di musim hujan. “Siapa saja bisa membuat media online,” katanya. Media online, ujar bekti, memang kebutuhan bisnisnya berbeda dengan media cetak. Meski demikian, media online juga harus mencantumkan alamat yang jelas.
“Kalau alamat yang dicantumkan tidak sesuai dengan kenyataannya, mereka bisa dilaporkan ke Dewan Pers. Pencantuman alamat palsu juga melanggar UU Pers,” kata Bekti. n dyah ratna meta novia ed: nina ch
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.