REPUBLIKA.CO.ID, Perguruan tinggi mempunyai peran paling strategis dan menentukan dalam pembangunan bangsa dan peradaban. Tentu, tanpa mengecilkan nilai pendidikan di bawahnya tidak. Namun, kejayaan pendidikan di level bawah itu bergantung pada keberhasilan pendidikan tinggi.
Inilah gagasan utama yang hendak disampaikan penulis buku Islamisasi Ilmu-Ilmu Kontemporer dalam Konteks Dewesternisasi dan Dekolonisasi, Profesor Dr Wan Mohd Nor Wan Daud dari Center for Advanced Studies on Islam Science and Civilisation (CASIS) Universiti Teknologi Malaysia.
Mayoritas tenaga akademik, pengurus, penulis buku teks, pembuat kurikulum, bahan-bahan pelajaran formal, dan nonformal bagi semua pendidikan di level bawah adalah produk perguruan tinggi. Begitu juga mayoritas pimpinan, karyawan, serta para ahli profesional di daerah dan pusat juga bagian dari hasil pendidikan perguruan tinggi.
Orientasi perguruan tinggi di mayoritas negara-negara berkembang di kawasan Amerika Latin, Asia, dan Afrika dipengaruhi perguruan tinggi Barat yang beberapa abad ini diwarnai oleh ideologi kapitalis neoliberal. Barat juga sudah sejak abad ke-15 Masehi telah menjajah sebagian besar kawasan itu. Oleh sebab itu, para sarjana dan negarawan negara-negara berkembang telah mewacanakan gagasan indegenisasi (pribumisasi), dewesternisasi, dan dekolonialisasi.
Seorang cendekiawan Islam, Profesor Syed Muhammad Naquib al-Attas, sejak 1960-an telah mengembangkan gagasan Islamisasi ilmu-ilmu kontemporer dan kemudian mencetuskan konsep universitas Islam. “Namun demikian, mayoritas sarjana Islam yang coba mengkritik aspek-aspek negatif pemikiran, kebudayaan, dan penjajahan Barat tetap mengakui beberapa kebaikan dan menfaat dari Barat,” tulis Prof Nor dalam surat elektroniknya kepada Republika, Kamis (7/11).
Dalam berbagai tulisan dan seminarnya, Prof Nor selalu menyampaikan tidak semua aspek pendidikan Barat bertentangan dengan pandangan alam, akhlak, kepentingan Islam, serta adat ketimuran bangsa Melayu. Yang harus ditolak ialah yang bertentangan dan tidak sesuai dengan nilai-nilai itu. Inilah yang dimaksudkan Islamisasi dalam pendidikan. “Kita tentu tidak mau menjadi peniru (imitators) terhadap kebudayaan dan tata nilai orang lain serta juga tidak mau memanifestasikan pola pikir terjajah (colonized mind),” tegas Nor.
Ia juga mengutarakan satu konsep yang disebutnya sebagai dynamic stabilism. Konsep itu dianggapnya mengambil jalan tengah dalam melakukan perubahan dan menguatkan nilai-nilai identitas bangsa. Prof Nor membenarkan kondisi perguruan tinggi di hampir semua negara saat ini lebih banyak menghasilkan manusia untuk memenuhi kebutuhan industri lokal dan multinasional.
Bahkan, ada kajian-kajian yang menunjukkan bagaimana universitas-universitas besar negara maju dan dunia ketiga beroperasi sebagai cabang kepentingan industri multinasional yang berpusat di Barat.
Malah di Barat sendiri terdapat sejumlah sarjana yang tidak menyukai pengaruh kekuatan industri dan birokrasi perindustrian dalam pendidikan universitas serta dalam skema evaluasi kesarjanaan. Pendidikan harus kembali kepada tujuannya yang paling fundamental, yakni melahirkan manusia yang bermoral, berkarakter, dan beradab tinggi yang justru kerap kali dikorbankan. n c20 ed: chairul akhmad
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.