REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Moratorium atau penghentian sementara orientasi pengenalan kampus (ospek) dinilai menjadi jalan terakhir untuk mengatasi kekerasan terhadap mahasiswa baru (maba). Kasus kematian mahasiswa Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, Fikri Dolasmantya Surya, pada saat kegiatan itu diharapkan menjadi kasus terakhir.
“Kalaupun muncul kasus kekerasan dalam ospek, moratorium atau penghentian sementara ospek merupakan jalan terakhir untuk atasi persoalan itu,” kata Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemendikbud Ibnu Hamad kepada Republika, akhir pekan lalu.
Kasus Fikri, ujar Ibnu, diharapkan menjadi pembelajaraan bagi perguruan tinggi dan sekolah manapun agar tidak mengulangi kejadian tersebut. Di sekolah dan di kampus, baik kepala sekolah maupun rector, harus ikut mengawasi dan bertanggung jawab dalam mengarahkan masa orientasi siswa (MOS) atau ospek.
Selama ini, Kemendikbud sering menyerukan agar ospek dilakukan melalui pendekatan akademik. Selain itu, dalam buku pedoman juga dilarang keras melakukan kekerasan verbal dan fisik dalam ospek.
Terkait kasus Fikri, Ibnu melanjutkan, Mendikbud Muhammad Nuh sudah menugaskan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) untuk melakukan penelusuran ke ITN. “Sudah ada tim yang ditunjuk ke sana, Dirjen Dikti juga sudah turun ke lapangan,” katanya.
Jika kampus terbukti lalai, Kemendikbud bisa memberikan sanksi. Sanksi administrasi bisa dilakukan dengan mengurangi bantuan finansial kepada kampus tersebut.
Anggota Ombudsman Subtansi Pendidikan Budi Santoso mengatakan, sudah bukan rahasia lagi bahwa pelaksanaan ospek yang berlangsung di berbagai sekolah maupun perguruan tinggi sering menjadi ajang balas dendam kakak kelas (senior) kepada adik kelasnya. “Oleh karena itu, harus ada upaya keras dan tegas untuk menghentikan ospek dengan mata rantai kekerasan seperti itu,” ujarnya.
Dengan adanya fakta kekerasan dalam ospek, kata Budi, diharapkan Ombudsman RI Mendikbud M Nuh untuk segera mengambil keputusan yang tegas. Hal tersebut untuk mengevaluasi secara menyeluruh terhadap pelaksanaan ospek selama ini. “Moratorium atau penghentian sementara ospek harus dilakukan,” katanya.
Ini, Bud menjelaskan, merupakan upaya untuk memotong regenerasi kekerasan yang sering terjadi dalam pelaksanaan ospek. Selain itu, harus disusun formula baru pelaksanaan ospek yang lebih bersifat akademis, pembangunan karakter, dan kepemimpinan yang nirkekerasan.
Kematian Fikri, ujar Budi, merupakan akibat dari minimnya pengawasan yang dilakukan perguruan tinggi bersangkutan dalam pelaksanaan ospek. Seharusnya, dalam setiap ospek pimpinan perguruan tinggi maupun sekolah harus ikut mengawasi untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan.
Seperti diketahui, Fikri Dolasmantya Surya tewas ketika mengikuti kegiatan penerimaan mahasiswa baru ITN Malang pada 13 Oktober lalu. Fikri diduga dianiaya karena ketika ditemukan, ia dalam keadaan sakit dan mulutnya mengeluarkan busa pada saat melakukan kegiatan tersebut.
Sekjen Komisi Nasional Pendidikan Andreas Tambah mengatakan, walaupun panitia ospek merupakan mahasiswa senior, kampus tidak boleh menyerahkan hal itu sepenuhnya kepada mereka tanpa kontrol. Dalam ospek mahasiswa senior lebih sering melakukan bullying. Karenanya, kampus harus bertanggung jawab dan proses hukum harus dilakukan.
Paradigma ospek yang penuh kekerasan dan ajang penggemblengan, Andreas menegaskan, harus diubah. “Bahkan, ospek harus dihentikan selama perguruan tinggi belum bisa mengubah proses pengenalan kampus dengan cara yang baik dan santun,” ujarnya.
Contoh kegiatan ospek yang bagus, kata Andreas, misalnya dengan melakukan aktivitas sosial, menunjukkan hasil kinerja fakultas-fakultas yang ada, juga mengenalkan kelebihan fakultas masing-masing. Kampus juga bisa melakukan ospek dengan memamerkan keunggulan kampus, melakukan promosi kegiatan ekstrakurikuler. “Ospek harus menonjolkan manfaat, peningkatan intelektual dan skill. Bukan malah jadi ajang penggemblengan fisik agar adik kelas takut pada senior,” ujar Andreas. n dyah ratna meta novia ed: muhammad hafil
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.