REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai industri asuransi Indonesia belum siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA akan diberlakukan pada 2015, termasuk untuk asuransi, sedangkan untuk sektor perbankan baru dimulai tahun 2020.
Dewan Komisioner OJK bidang Industri Keuangan Nonbank Firdaus Djaelany mengatakan, industri asuransi belum siap menghadapi MEA karena para regulator di ASEAN belum membicarakaan secara detail mengenai industri asuransi. Padahal, pasar bebas akan diberlakukan tahun depan.
“Waktu kita sepakat 2007, bukan hanya asuransi. Seluruh jasa, bahkan perbankan lebih mundur, maunya 2020. Waktu itu saya tak tahu mengapa asuransi didahulukan 2015,” ujar Firdaus, Selasa (25/3). Ia mengaku kurang terlalu optimistis pasar bebas untuk sektor asuransi dapat diimplementasikan tahun depan. Namun, opsi penundaan pun harus melalui kesepakatan semua negara yang terlibat.
Firdaus mengatakan, negara-negara ASEAN harus segera berdiskusi mengenai kesiapan setiap negara mengenai asuransi. MEA merupakan pasar bebas, tetapi setiap negara berhak memiliki aturan untuk melindungi masyarakatnya. Pihaknya tidak akan mengeluarkan aturan khusus untuk menghadapi MEA.
OJK hanya mempersiapkan beberapa aturan mengenai masalah perlindungan konsumen dan kapasitas reasuransi di dalam negeri. “Keinginan kami punya aktuaris buat industri kita. Ketentuan tata kelola untuk memperkuat posisi kita ketika pasar ASEAN berlaku,” katanya.
Antarnegara ASEAN juga harus memiliki kesepakatan mengenai perusahaan asuransi yang diperbolehkan membuka cabang di setiap negara. Hingga kini, aturan mengenai modal minimum asuransi yang boleh membuka cabang belum disepakati. Padahal, aturan yang jelas dapat membuat konsumen terproteksi.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Indonesia Suryo Bambang Sulisto mengatakan, subsektor asuransi masih perlu mendapat perhatian yang lebih agar mampu tumbuh dan berkembang dengan baik, seperti sektor keuangan lainnya. Jaminan kepastian dalam asuransi jika diperankan dengan benar, akan menciptakan kepastian dalam investasi dan keberlangsungan usaha.
“Guna memperkuat peran industri asuransi dalam pembangunan ekonomi, kita memang memerlukan adanya kepercayaan timbal balik antara industri asuransi dan konsumen yang diatur oleh sistem legislasi yang baik,” kata Suryo, Selasa. Menurutnya, asuransi memerlukan integrasi antara regulasi asuransi dan berbagai regulasi lain, juga dengan tata kelola kehidupan masyarakat.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perbankan dan Finansial Rosan P Roeslani mengatakan, peluang asuransi dalam MEA cukup besar karena pasar Indonesia yang sudah besar ditambah penduduk negara-negara ASEAN lainnya. “Ini peluang bagi perusahaan asuransi Indonesia untuk mencoba melakukan ekspansi ke negara-negara ASEAN lainnya,” ujar Rosan.
Hingga kini, perusahaan asuransi nasional belum melakukan ekspansi ke luar negeri. Padahal, penetrasi asuransi masih bisa dilakukan ke Filipina, Vietnam, dan Myanmar. Di sisi lain, negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura, telah melakukan hal tersebut.
Tanpa pemberlakukan MEA, industri asuransi telah lama terliberalisasi di Indonesia ketika asing telah menguasai industri asuransi, khususnya asuransi jiwa. Untuk menghadapi MEA, Rosan mengatakan, perlu adanya pengaturan mengenai persyaratan masuknya perusahaan asuransi asing, misalnya dalam hal peringkat, jumlah modal, dan kompetensi tenaga kerja asing.
Asuransi nasional juga harus meningkatkan kompetensi sumber daya manusia (SDM), modal, dan dukungan teknologi informasi. “Masih ada dua tahun untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya dan secara bertahap,” katanya.n satya festiani ed: fitria andayani
Informasi dan berita lain selengkapnnya silakan dibaca di Republika, terimakasih.