Selasa 24 Jun 2014 15:00 WIB

Perlawanan Dolly

Red:

Puluhan pekerja seks komersial (PSK) di Dolly, Surabaya, menggelar upacara bendera, Senin (23/6). Mereka menunjukkan lokalisasi tetap buka dan para PSK melayani kaum hidung belang. Deklarasi penutupan Dolly pada Rabu pekan lalu, menurut mereka, keputusan politik yang menipu.

Perlawanan para PSK atas beleid Wali Kota Surabaya mendapat dukungan dari berbagai kelompok. Pada awal polemik penutupan, partai politik turut berada di antara para pendukung itu. Namun, dukungan terbesar datang dari kelompok yang secara ekonomi tergantung pada lokalisasi, di antaranya yaitu para preman, germo, dan pedagang.

Tampaknya, tenggat Pemerintah Kota Surabaya tentang penutupan lewat begitu saja. Kepentingan ekonomi yang menyimpang bahkan berbaur dengan persoalan ideologis. Dalam upacara bendera tersebut ada pernyataan bahwa negara tidak berwenang mengurusi moralitas masyarakat.

 

Di negeri kita, kelompok modern dan liberal acap bertindak radikal dari kelompok manapun di dunia. Prostitusi merupakan kekalahan kemanusiaan karena perempuan  tidak dilahirkan untuk menjadi barang dagangan. Tak ada satu keyakinan yang membenarkan hal itu. Negeri Barat yang maju, seperti Swedia, melarang praktik prostitusi. Pelanggaran atas ketentuan tersebut berbuntut pidana.

Lokalisasi prostitusi menciptakan kultur permisif yang merusak lingkungan sekitar. Anak-anak yang tumbuh di lokalisasi memandang wajar penyimpangan. Bukan semata terhadap praktik seks bebas, melainkan juga atas premanisme, konsumsi rokok, dan minuman keras. Jadi, bicara tentang Dolly tidak hanya bicara ekonomi, melainkan hak masyarakat.

Pemerintah kota melakukan sosialisasi cukup dini tentang penutupan. Tri Rismaharini selaku wali kota bahkan menyiapkan jalan keluar dengan pelatihan dan dana kompensasi. Bagi Jawa Timur, penutupan lokalisasi bukan hal baru. Sudah 24 lokalisasi ditutup di provinsi itu dan selama ini dapat berjalan baik.

Namun, kali ini memang berbeda. Volume transaksi tinggi dengan segunung tumpukan rupiah—karena Dolly adalah kompleks lokalisasi terbesar di Asia Tenggara—membuat banyak kalangan terlibat. Selain para pelaku langsung, organisasi buruh dan politisi ikut memanfaatkannya sebagai materi retorika.

Dari sekitar 1.500 pekerja seks, termasuk germo, hanya 350-an yang bersedia menerima dana kompensasi dari pemerintah. Sebagian besar bertahan, apalagi dengan kipasan dari para pendukung mereka. Ada gelagat yang ingin membawa masalah penutupan Dolly ke level massa sebagai urusan akar rumput belaka. Ini berbahaya karena potensi konflik horizontal menguat. Kapolri yang berjanji mendukung penutupan perlu membuktikan kata-katanya.

Perda yang melarang praktik prostitusi sudah ada sejak 1999. Jika penegak hukum tak mencoba bertindak, maka iklim permisif akan terus merebak dan tak akan ada lagi aturan di negeri ini—dalam hal apa pun.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement