Sabtu 09 Aug 2014 17:00 WIB

Koperasi Tempe yang Terlupakan

Red: operator

Banyak perajin tempe kini membeli bahan baku kepada tengkulak, meski harganya lebih mahal dari yang dijual koperasi.

Kepala Tarjuni (71 ta hun)melongok ke dalam rak bambu setinggi dua meter. Untuk meraih rak paling tinggi, Tarjuni menggunakan kursi plastik sebagai penyangga tubuh tuanya. Di dalam rak itu berjejer rapi hasil olahan kacang kedelai pada pagi hari.

"Didiamkan dulu di sini semalam sebelum jadi tempe siap jual," kata Tarjuni kepada Republika yang menyambanginya sebelum shalat Jumat di rumahnya di wilayah Semanan, Kali Deres, Jakarta Barat, Jumat (8/8).

Tangannya sesekali menggeser posisi bungkusan plastik berukuran 15 x 20 cm berisikan kedelai yang sudah diragi."Biar meragi sempurna, kedelainya harus tertutup rapat," katanya sambil berpindah ke rak lainnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Republika/ Yasin Habibi

Pabrik Tahu dan Tempe Semanan: Pekerja membuat tahu dan tempe di Perumahan Industri Kecil (PIK) Primkopti Sentra Tahu dan Tempe Semanan, Kalideres, Jakarta Barat, Jumat (8/8).

 

 

Rak bambu yang dimanfaatkan Tarju ni untuk menyemai tempe dibuatnya sendiri. Posisinya tepat di atas dapur rumahnya yang juga berfungsi sebagai pabrik tempe miliknya. "Ya begini, ruangannya multifungsi. Kalau nggak produksi tempe ya buat masak," katanya.

Di samping dapur tampak lima buah ember raksasa seukuran drum oli. Tingginya kira-kira satu meter. Salah satunya penuh berisi kedelai yang direndam air. "Itu sedang direndam selama satu malam. Fungsinya agar kedelainya ngasem. Kalau ggak digituin nanti gak bisa diragi," ucap Tarjuni setelah merapikan semaian tempenya. Dengan direndam, ia berkata, kedelai akan mengembang dan kulitnya akan lebih mudah untuk dipisahkan dari bijinya.

Dalam membuat tempe, Tarjuni tidak sendiri. Dia dibantu oleh Tri Rahayu, istrinya. Sembari mencuci beberapa loyang bekas membersihkan kedelai, ia berkata, "Saya kerjanya ekstra, ya ngurusin rumah, ya bantuin bikin tempe."

Dalam sehari, Tarjuni dan istrinya sanggup mengolah sedikitnya 60 kg kedelai menjadi tempe siap jual. "Itu kalau hari biasa. Kalau sekarang, kami bisa bikin 100 kilo kedelai. Pesanan lagi kenceng.

Mungkin masih efek Lebaran. Harga bahan pokok lain masih tinggi. Jadi, orangorang pada milih tempe," kata Tarjuni.

Tarjuni sehari-hari menjual tempe produksinya di Pasar Palmerah, Jakarta Pusat. Dia mengaku, masing-masing produsen tempe sudah memiliki pangsa pasarnya sendiri. "Kayaksaya di Palmerah. Tetangga saya ada yang di Semanan, Kembangan, macem-macemlah,"

ujarnya. Namun, tidak jarang distribusi produk olahan Tarjuni dan pengusaha tempe lainnya bisa tembus sampai supermarket besar di Jakarta.

Sebagai pengrajin tempe, Tarjuni adalah satu dari sekitar 500 pengrajin tempe lainnya yang mendapat hibah tanah dan bangunan yang dijadikan pabrik. "Pada 1993, pemerintah resmi memberi kami semua rumah tinggal.

Diberi lho, bukan disuruh nyicil. Ini berkat jerih payah pengurus koperasi saat itu," kata Tarjuni yang mengaku beruntung mendapatkan rumah cuma-cuma.

Bagi Tarjuni, jasa koperasi dalam memajukan industri tempe dan tahu sangatlah besar. Dari produksi yang hanya beberapa puluh kilogram dalam sehari, koperasi mendorong anggotanya hingga dapat mengolah setidaknya 60100 kilogram kedelai dalam sehari."Sekarang kondisinya berbalik.Semuanya beralih ke tengkulak alias pengusaha kedelai swasta," ucap dia.

Kondisi ini seolah menjadi liang kubur bagi koperasi tahu tempe Sema nan."Bahkan, dari 700 lebih anggota pengrajin tempe yang jadi anggota, hanya sekitar 10 orang yang masih mengambil bahan baku dari koperasi. Padahal, harganya sama," ujar Tarjudin.

Ia berpendapat, beralihnya ratusan pengrajin kepada para tengkulak akibat rayuan para tengkulak yang menawarkan pinjaman. "Para pengrajin terbuai sama tengkulak karena boleh ngutang dulu. Ambil dulu kedelainya, bayar boleh belakangan," ujar Tarjuni.

Pengrajin tempe lainnya, Rasmuna (53 tahun), mengaku mengambil bahan baku dari tengkulak lantaran harganya sesuai dengan kantong. Dia mengaku tidak tahu mengenai peran koperasi dalam industri tempe di kampungnya."Saya malah kurang paham dengan kerjanya koperasi bagaimana," katanya.

Rasmuna tidak sendiri. Ratusan pengolah kedelai lainnya yang mengambil bahan baku di tengkulak sudah telanjur terbelenggu fasilitas. Dengan sistem bayar belakangan, para tengkulak akan menaikkan harga kedelai.

Ditemui di Kantor Koperasi Pengusaha Tempe dan Tahu (Kopti) Jakarta Barat, Ketua Kopti Suharto berkata, banyak pengrajin tempe yang terlilit utang setelah terlibat bisnis dengan tengkulak. "Kejadian ini mulai marak pasca-Reformasi. Setelah Bulog tak lagi mengurusi kedelai," kata dia kepada Republika.

"Setelah itu," ujar dia melanjutkan, "impor kedelai dipegang oleh swasta yang kita sendiri tak tahu permainan apa yang mereka rencanakan."

Suharto menjelaskan, sejak itu koperasi mengambil bahan baku kedelai dari importir dengan harga yang bersaing dengan para tengkulak. Ia menuturkan, koperasi tidak lagi bisa memberikan harga yang lebih murah. "Aki batnya, banyak pengrajin pada beralih ke tengkulak. Padahal, kalau mereka sadar, mereka sedang dipermainkan," katanya.

Kondisi ini diperparah dengan semakin suburnya pemain-pemain swasta yang bermunculan. Ia mengatakan, dalam sepekan harga kedelai di tengkulak bisa naik dua kali lipat. "Misalnya, Senin harga kedelai Rp 7.800 per kilo.Rabu bisa sudah naik jadi Rp 8.000. Tak hanya itu, kadang mereka menaikkan harga karena alasan stok terbatas,"tutur Suharto.

WARISAN KULINER NUSANTARA

Hampir semua lidah masyarakat Indonesia pasti pernah dimampiri makan an berbahan dasar kacang ke delai, tempe, dan tahun. Meski dua penganan itu menjadi menu wajib di meja makan setiap rumah orang Indonesia, sedikit yang tahu bagaimana tempe merasuki sejarah kuliner nusantara.

Kata tempe pernah muncul di dalam Serat Centhini yang berlatar belakang budaya Jawa. Di dalam salah satu bab dalam serat legendaris ini ditemukan kata "tempe", misalnya, dengan penyebutan nama hidangan "jae santen tempe" yang artinya sejenis makanan berbumbu jahe dengan bahan baku kedelai.

Hidangan lain di Serat Centhini, yakni "kadhele tempe srundengan" yang merupakan olahan kelapa parut dengan tambahan kedelai.

Catatan itu menunjukkan awal mulanya tempe kemungkinan besar diproduksi masyarakat perdesaan di Jawa Tengah dari kedelai hitam.

Suharto, ketua Koperasi Pengrajin Tahu Tempe Jakarta Barat, meng ungkapkan, dalam perkembangannya, masing masing daerah punya ciri khas tempenya sendiri.

"Misal, di Pekalongan dan Malang, ngolah nyalain. Kalau di Malang, kedelai didiamkan dulu, baru diragi.Kalau di Pekalongan, kedelai diragi, baru didiamkan," ujarnya.

Selain itu, terdapat rujukan mengenai tempe dari 1875 dalam sebuah kamus bahasa Jawa-Belanda.Sum ber lain mengatakan, pembuatan tempe diawali semasa era tanam paksa di tanah Jawa.

Saat itu, masyarakat Jawa terpaksa menggunakan hasil pekarangan, seperti singkong, ubi, dan kedelai sebagai sumber pangan. Namun, ada pula pendapat yang menyebut tempe mungkin diperkenalkan orang-orang Tionghoa yang memproduksi makanan olahan kacangkacangan.

Pendapat itu bukan tanpa dasar.Sebab, dalam bahasa Cina, kacang disebut "dao/tau" maka makanan olahan kacang akan diawali dengan "tau". Seperti tau-co dan tau-fu (tahu).

Tahu memang lebih populer ketimbang tempe pada zaman itu.Tekstur tahu yang lebih lembut mampu menyingkirkan kekasaran' tekstur tempe. Awal produksi tempe juga disebut karena terinspirasi dari sisa kedelai olahan tahu yang membusuk dan terfermentasi. Dari sanalah kemudian masyarakat Jawa memo difikasi dengan `sengaja' membusukkan kedelai. Seorang pengrajin tempe, Tarjuni, berkata, "Sampai kapan pun tempe dan tahu selalu punya fans."

rep:85, ed:karta raharja ucu

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّ اَرِنِيْ كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتٰىۗ قَالَ اَوَلَمْ تُؤْمِنْ ۗقَالَ بَلٰى وَلٰكِنْ لِّيَطْمَىِٕنَّ قَلْبِيْ ۗقَالَ فَخُذْ اَرْبَعَةً مِّنَ الطَّيْرِفَصُرْهُنَّ اِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلٰى كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِيْنَكَ سَعْيًا ۗوَاعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌحَكِيْمٌ ࣖ
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang (mantap).” Dia (Allah) berfirman, “Kalau begitu ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah olehmu kemudian letakkan di atas masing-masing bukit satu bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.

(QS. Al-Baqarah ayat 260)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement