REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan laporan transaksi keuangan mencurigakan atas nama Malinda Dee (MD) pada delapan bank dan dua perusahaan asuransi. Kepala PPATK, Yunus Husein menyatakan, terdapat 28 transaksi mencurigakan yang dilakukan Malinda.
Namun Yunus menolak memberi tahu nilai keseluruhan transaksi tersebut. "Ada di bank swasta dan pemerintah. Kami masih melakukan penelitian dan pemeriksaaan terhadap sejumlah transaksi tersebut," ujarnya, Rabu (13/4).
Menurut Yunus, rekening-rekening tersebut tidak hanya menggunakan nama asli Mainda, namun juga nama orang lain. Malinda pun diketahui memiliki 4 KTP yang digunakan dalam melancarkan aksinya. Ini modus yang biasa dilakukan oleh seorang kriminal. "Cara ini sulit dihentikan karena hingga sekarang Indonesia belum menerapkan identitas tunggal," katanya.
Direktur pengawasan dan kepatuhan PPATK, Subiantoro menyatakan, Malinda menggunakan uang yang didebet dari rekening para nasabahnya untuk membeli sejumlah aset dan mendirikan perusahaan. "Sistemnya gali lubang tutup lubang," tuturnya. Malinda mengambil dana dari nasabah yang satu untuk menutupi dana yang diambilnya dari nasabah sebelumnya dan sebagian lagi disalurkan ke perusahaannya. "Begitu seterusnya," tuturnya.
Dana tersebut juga dialirkan ke rekening anak-anaknya. "Namun ini belum bisa dibuktikan, proses pelaporan dan analisis masih berjalan," ungkapnya. Bila ditemukan bukti adanya aliran dana yang masuk ke anak-anak maupun pihak lainnya, maka PPATK bisa pula mengenakan sanksi kepada pihak penerima.
"Dalam undang-undang sudah jelas, setiap orang yang menerima atau menggunakan harta kekayaan yang patut diduganya sebagai hasil tindak pidana juga dapat dikenai sanksi," tuturnya. Sanksi tersebut dapat berupa pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
Sementara itu, hingga saat ini baru tiga nasabah Melinda yang baru melaporkan kerugiannya kepada kepolisian. "Kami tidak tahu apa alasan mereka tidak melapor. Bisa saja mereka sudah cukup puas karena Citibank akan mengganti kerugiannya," tutur Yunus.
Namun bisa juga nasabah tersebut tidak melapor karena malas berurusan dengan kepolisian atau takut asal-usul uang yang mereka miliki ikut-ikutan ditelusuri. Mereka bisa saja pengemplang pajak atau pelaku pencucian uang pula.
Citibank sampai sekarang tidak mau membuka profil ratusan nasabah yang ditangani MD. Sebelumnya diketahui terdapat 236 nasabah private banking yang dilayani MD. "Tidak tahu apa alasannya," tuturrnya. Namun menurut Subiantoro, sekitar 50 orang nasabah MD adalah pejabat.
"Beberapa di antaranya memang terindikasi melakukan pencucian uang, tetapi belum bisa dibuktikan. Kami tidak bisa mengeneralisir juga," katanya.