REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wacana stambush accord atau pengalihan suara dari partai yang tidak lolos ke partai yang lolos dianggap sistem yang aneh. Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gerindra, Fadli Zon, sistem itu tak wajar. “Karena kalau mau ‘berkoalisi’ seharusnya dilakukan setelah pemilu dilakukan,” katanya saat
dihubungi, Ahad (22/5).
Ia mengatakan sistem stambush accord akan agak sulit dilakukan di Indonesia, meskipun sistem ini pernah diujicobakan pada pemilu 1999. Kesulitan utamanya yakni bagaimana menjamin partai-partai yang tergabung dalam satu wadah itu tetap bersifat permanen. Artinya, tidak berpindah haluan hingga selesai masa jabatan.
“Agak sulit dilakukan, apalagi kontrak politiknya di awal. Ini akan membingungkan masyarakat,” ujarnya.
Bagi Fadli, logika politik untuk sistem ini tak sesuai. Hal yang wajar terjadi ketika kontrak politik itu dilakukan setelah pemilu. Sistem ini bisa menambah politik transaksional karena penggabungan dalam kontrak politik di awal akan lebih menguntungkan partai besar sebagai pemimpin kontrak politik tersebut.
Seharusnya, lanjut Fadli, pemilu harus benar-benar berdasarkan suara murni termasuk meminimalkan suara yang hilang atau bahkan menjadi golput. “Sistem itu agak sedikit mengada-ada,” katanya.
Terlebih lagi jika berkaitan dengan kontrak politik yang sifatnya temporal dan ad-hock. Seringkali kontrak politik pun terjadi di menit terakhir. Menurut Fadli, wacana stambush accord semangatnya bagus, tetapi pelaksanaannya akan sangat sulit terjadi. Karena partai yang bersangkutan bisa saja tidak melaksanakan kontrak politik yang sudah disepakati atau berubah haluan ditengah jalan.