REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN - Saksi yang juga pelaku perampokan Bank CIMB Niaga Medan dan penyerangan Mapolsek Hamparan Perak, Pamriyanto alias Suryo Putro (25) mengaku, bahwa dirinya pernah mengikuti latihan militer di Aceh.
"Latihan strategi dan penggunaan senjata api itu dijalaninya selama tiga minggu di kawasan perbukitan Jantho Aceh Besar," katanya kepada majelis hakim di Pengadilan Negeri Medan, Selasa (24/5).
Pamriyanto didengar keterangannya sebagai saksi dalam kasus terdakwa Marwan alias Wak Geng pelaku perampokan Bank CIMB Niaga Jalan Aksara Medan dan pengrusakan Mapolsek Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Sedangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Sumut, Riwayati Tarigan,SH.
Pamriyanto mengatakan, latihan militer yang diikutinya itu, hanya keperluan untuk persiapan berangkat ke Palestina untuk membela kaum muslim yang diperlakukan tidak manusiawi oleh orang-orang kafir. Jadi latihan tersebut, menurut dia, hanya untuk menambah ilmu dan wawasan di bidang militer dan juga latihan ilmu beladiri. "Saya juga pernah mengikuti latihan di Sibolangit selama beberapa hari, setelah dari Aceh," kata saksi.
Selanjutnya dalam penjelasan Pamriyanto di pengadilan negeri itu, bahwa dia juga tidak mengenal terdakwa Marwan. "Saya tidak kenal terdakwa itu," ujar saksi.
Dalam persidangan tersebut, selain JPU menghadirkan saksi Pamriyanto alias Suryo Putro juga saksi Anton Sujarwo alias Supriyadi terdakwa kasus perampokan CIMB Niaga Jalan Aksara Medan dan pengrusakan Mapolsek Hamparan Perak. Sebelumnya, seorang saksi anggota satuan pengamanan Bank CIMB Niaga Medan, Muhdiantoro (31) di PN Medan, mengaku, merasa trauma dengan peristiwa perampokan yang terjadi di bank swasta tersebut pada 18 Agustus 2010. "Kalau saya teringat dan membayangkan dengan kejadian yang saya alami itu, sangat menakutkan," katanya.
JPU Riwayati Tarigan dalam dakwaannya menjerat terdakwa dengan pasal berlapis dan melanggar Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Teroris Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Selain itu, terdakwa juga diancam dengan pasal 340 dan 365 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Dengan hukuman maksimal yakni hukuman mati.