REPUBLIKA.CO.ID, PARIS - Mantan Presiden Tunisia Zine El-Abidine Ben Ali mengatakan dirinya telah digambarkan secara tidak adil dan didiskreditkan oleh lawan-lawan politiknya, Senin (6/6).
Ben Ali, dalam sebuah pernyataan tertulis yang dibacakan pengacaranya, Jean-Yves Le Borgne, mengatakan sudah waktunya untuk memecah keheningan karena ia "lelah dijadikan kambing hitam" dan menjadi korban "ketidakadilan". Menurut Ben Ali, berdasarkan penyelidikan yang dilakukan kantor resmi dan pribadinya, kian jelas adanya upaya untuk mendiskreditkan dirinya.
Mantan penguasa ini membantah tuduhan bahwa dirinya mempunyai rekening bank yang tidak patut atau kepemilikan properti di luar Tunisia. Ia menyebut berbagai tuduhan terhadap dirinya sebagai "pesta kaum bertopeng" yang hanya bertujuan menjadikannya sebagai "patahan masa lalu".
Ben Ali berpendapat, bertentangan dengan pernyataan lawan-lawannya, bahwa ia selalu bekerja melakukan yang terbaik untuk rakyat Tunisia, dengan cara meningkatkan standar hidup mereka dan membangun jalan menuju modernitas.
Protes terhadap Ben Ali—yang telah memerintah Tunisia sejak 1987—mulai meletus akhir tahun lalu. Muak dengan korupsi, pengangguran dan naiknya harga bahan makanan, rakyat mulai berunjuk rasa secara massal setelah seorang pedagang buah bunuh diri dengan membakar tubuhnya pada Desember. Pemberontakan rakyat menyebabkan Ben Ali turun tahta dan melarikan diri ke luar negeri.
Sejak itu pula, partai politik pimpinan mantan orang kuat ini dibubarkan berdasarkan perintah pengadilan. Menurut pakar HAM PBB, sedikitnya 300 orang tewas dan 700 lainnya terluka selama pemberontakan di Tunisia.