REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisi II DPR RI telah membentuk tim Panitia Kerja Mafia Pemilu. Tim ini akan menjadikan kasus dugaan pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi (MK) yang melibatkan mantan komisioner KPU sebagai pintu masuk mengungkap keberadaan kursi haram di DPR Periode 2009-2014.
Anggota Komisi II dari PDIP, Arif Wibowo menjelaskan bahwa kasus Andi Nurpati menunjukan carut marut rekapitulasi perhitungan perolehan suara di KPU. "Panja ini akan bertugas menyusuri semua kursi ilegal di segala strata," katanya usai rapat tertutup Komisi II di Gedung Dewan, Kamis (16/6).
Strata yang dimaksud adalah di tingkat DPR, DPRD Provinsi hingga ke DPRD Kabupaten/Kota. Semenetara kursi ilegal yang disebut Arif diperoleh dengan cara memanipulasi perhitungan perolehan suara.
Tugas Panja Mafia Pemilu adalah menyisir keberadaan kursi ilegal dari 560 kursi yang diduduki anggota dewan periode 2009-2014. Caranya, Panja akan mengecek ulang rekapitulasi perhitungan perolehan suara yang disahkan dalam rapat pleno KPU.
"Langkah kedua adalah mengecek putusan MK yang asli, berangkat dari data hasil perhitungan perolehan suara yang asli pula," ujar Arif.
Arif menegaskan bahwa sebuah keputusan pleno KPU dapat dibatalkan jika data penetapan yang digunakan palsu, sekalipun MK tidak tahu dan sempat membenarkannya. "Sekalipun keputusan MK bersifat final dan mengikat," ujarnya.
Namun, Arif mengakui, Panja akan mengalami kesulitan mendapatkan data pemilu milik KPU. Seperti yang diberitahukan pihak KPU saat RDP, Selasa (14/6) kemarin, sudah banyak logistik dan data pemilu yang telah dilelang.
Hal ini membuat Arif geram sekalipun mengetahui dasar pelelangan yang dilakukan KPU. "Mengapa mereka berani melelang karena ada Peraturan KPU Nomor 75 Tahun 2009," kata Arif menerangkan.
Peraturan KPU tesebut disertai surat edaran pelaksanaan teknisnya dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Padahal peraturan ini, sebut Arif, bertolak belakang dengan UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu.
Dalam UU itu terdapat pasal yang memerintahkan KPU maupun Bawaslu untuk menyimpan dan merawat data pemilu. "Patut diduga Peraturan KPU 75/2009 memang sengaja dikeluarkan untuk menghapus kekacauan perhitungan perolehan Pemilu 2009," kata Arif menandaskan.