REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING - Cina mengatakan pemimpin tertinggi pemberontak Libya, Dewan Transisi Nasional melakukan lawatan dua hari mulai Selasa (21/6). Itu adalah pengumuman publik kedua mengenai pertemuan antara pemerintah Cina dan pemberontak Libya.
Pengamat politik luar negeri mengatakan kunjungan kepala badan eksekutif dewan, Mahmoud Jibril, adalah isyarat ikatan kian mendalam antara pasukan anti-Qaddafi dengan Cina, terlepas bahwa Cina menentang operasi NATO di negara Afrika tersebut.
Kementrian Luar Negeri Cina, mengumumkan kunjungan itu dalam pernyataan tanpa detail lebih lanjut. Kemudian dikonfirmasi bahwa Jibril akan bertemu menteri luar negeri Cina, Yang Jiechi.
Awal bulan ini Cina mengatakan duta besarnya di Qatar bertemu dengan pemimpin lain pemberontakan, Mustafa Abdul Jalil, di Doha. Kemenlu Cina juga mengatakan bahwa Yang Jiechi juga bertemu dengan timpalannya dari rezim Qaddafi, Abdelati al-Obeadi.
Pengamat menggambarkan pertemuan itu bagian dari upaya Cina untuk tetap netral dalam konflik, meski harus menopang hubungan dengan pemimpin pemberontak demi mengantisipasi kejatuhan Qaddafi.
Bulan ini pula, Cina mengirim utusan ke pusat pertahanan pemberontak di Benghazi untuk memeriksa dampak perang sipil yang kini menginjak bulan keempat. Pemeriksaan dampak itu terutama terkait dengan kepentingan Cina di kawasan tersebut. Cina mememiliki investasi sebesar 18,8 milyar dolar dalam 50 mega proyek di Libya.
Kebijakan noninterferensi yang dipandang tak mencampuri urusan dalam negeri bangsa lain merupakan prinsip lama politik luar negeri Cina. Namun banyak pakar memandang kebijakan itu kini ditantang oleh kepentingan ekonomi global Cina sendiri yang kian meningkat.
Toh, meski menentang keras serangan udara NATO terhadap Libya, Cina sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB tak menggunakan hak vetonya untuk menghadang resolusi yang mengizinkan serangan.
Cina pun menolak disebut-sebut mengupayakan mediasi antara pemberontk dengan rezim Qaddafi, meski pemerintah Cina terlihat kian intensif melakukan pertemuan dengan perwakilan dari kedua kubu. "Cina meyakini masa depan Libya harus diputuskan oleh rakyat Libya sendiri. Cina menghormati keputusan rakyat Libya," ujar jurubicara Menteri Luar Negeri Hong Lei, bulan ini.