REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI, Muhammad B Sampurno, mendesak Kementerian Luar Negeri harus benar-benar serius menjalankan fungsi diplomasi terkait kasus-kasus menimpa warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri.
Kasus eksekusi mati TKI Ruyati Binti Satubi oleh kerajaan Arab Saudi pada Sabtu (18/6), ujarnya di Gedung DPR Jakarta, Rabu (22/6), merupakan tamparan keras kegagalan diplomasi pemerintah Indonesia dalam melindungi TKI yang sedang terjerat hukum.
"Kemlu harus benar-benar serius dalam menjalan fungsi diplomasi terkait kasus-kasus menimpa WNI di luar negeri," ujarnya. Menurut dia, pada masa mendatang harus dipertegas sikap dan langkah nyata pemerintah dalam menangani masalah TKI.
Di antaranya sesegera mungkin mendata dan melakukan advokasi kepada TKI yang terjerat pidana di luar negeri serta evaluasi kinerja KBRI di Arab Saudi, khususnya Konsulat Jenderal RI di Jeddah.
"Kalau memang ada kelalaian dalam memberikan perlindungan terhadap WNI di sana, maka perlu diberikan sanksi tegas. Ke depan hasil evaluasi ini dapat mencegah terjadinya hal-hal seperti ini terulang lagi," ujarnya.
Politisi PKS itu juga mengingatkan kasus di depan mata yang menimpa TKI bernama Darsem binti Daut, yang dituntut diyat (denda) sebesar Rp4,7 miliar. Menurut dia, dalam rapat kerja Komisi I DPR RI dan Kemenlu yang lalu (20/6), pemerintah mengusulkan membayar diyat tersebut.
Terkait hal tersebut, Syahfan mendorong langkah yang tepat dan cepat Kemlu dalam mengalokasi dana untuk membayar diyat tersebut.
Di tempat terpisah, anggota Komisi III dari FPKS, Aboe Bakar, menyatakan pemerintah gagal melakukan perlindungan hukum bagi para tenaga kerja di luar negeri. Dia mengganggap pemerintah kecolongan, sehingga tidak tahu ada salah satu warganya yang dipancung.
Ironisnya pula, kasus Ruyati ini mencuat beberapa saat setelah Presiden Yudhoyono memberikan pidato di depan Organisasi Buruh Dunia, ILO.
"Pemerintah tahu Ruyati disidangkan, namun tidak memberikan bantuan hukum, mereka hanya mengirim penerjemah dan pegawai kedutaan saja. Pasca vonispun tidak ada perhatian terhadap kasus ini, tahu-tahu saudara kita sudah dipancung," ujarnya.
Aboe mempertanyakan kapasitas dan kompetensi duta besar yang diangkat pemerintah dan ia pun meragukan mekanisme rekrutmen duta besar tersebut.
"Mengirim duta besar seharusnya menggunakan standar baku. Mereka harus pahami hukum negara setempat. Jangan jadikan duta besar sebagai hadiah untuk pensiunan ataupun sebagai posisi buangan. Bila Dubes tidak punya kepedulian terhadap TKI atau tidak pahami hukum negara setempat, beginilah hasilnya," ujarnya.