REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Jumlah pengajuan grasi narapida kepada presiden masih membengkak. Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar menyebutkan ada 2.460 narapidana yang status permohonan grasinya terkatung-katung.
"Ada 2.460 orang, sejak sebelum 2002 ini terkatung-katung lama, baru kita melaporkannya ke bapak presiden," ujar Patrialis, usai rapat koordinasi terbatas, membahas persoalan grasi dan Pegawai Negeri Sipil, di Kantor Presiden, Selasa (2/8).
Grasi adalah hak prerogatif Presiden untuk memberikan pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana. Menurut Patrialis, menumpuknya jumlah narapidana yang menanti grasi ini lantaran adanya regulasi yang berlaku sebelumnya.
Misalkan jika mengacu pada UU No. 3 tahun 1950 tentang permohonan grasi, seorang narapidana tanpa dibatasi (masa hukuman) dapat mengajukannya kepada presiden. Namun menurut Patrialis bagi narapidana yang kena hukuman minimal dua tahun kini baru boleh mengajukan grasi.
"Berapa pun orang boleh mengajukan grasi. Kalau orang dulu mengajkan grasi orangnya tidak ditahan, itu jaman dulu. Sehingga orang perkara kecil pun mengajukan grasi," katanya.
Untuk menyikapi masalah tersebut, Presiden memintanya supaya membahasnya bersama dengan Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, Jaksa Agung Basrief Arie di bawah koordinasi Menko Polhukam, Djoko Suyanto. Patrialis menilai, saat masa kepemimpinan SBY proses pengurusan grasi jauh lebih cepat.
Setelah berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung presiden dengan cepat memutuskan. "Di Pak SBY cepat, nggak pernah lama. Karena waktunya kan paling lama tiga (3) bulan. Jadi nggak ada tunggakan kita," terangnya.