Senin 22 Aug 2011 11:13 WIB

Presiden Jatuhkan Martabatnya dengan Balas Surat Nazar

Rep: Esthi Maharani/ Red: Djibril Muhammad
Presiden SBY
Foto: elshinta
Presiden SBY

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Surat tersangka kasus dugaan suap wisma atlet M Nazaruddin yang ditanggapi Presiden dinilai sama dengan menjatuhkan martabat kepala negara. "Presiden sebagai kepala negara seharusnya tidak menanggapi hal sentimental dan sifatnya personal seperti itu," kata pengamat politik, Yudi Latif saat ditemui di DPR, Senin (22/8).

Menurut Direktur Eksekutif Reform Institute ini surat yang dibuat Nazar pun belum tentu didasari niat jujur, bahkan kemungkinan untuk alasan dan rekayasa tertentu agar bisa menarik simpati publik. "Surat ini potensial mencoreng nama Presiden sendiri," katanya.

Ia memandang Nazar mencoba mempersuasi Presiden dengan surat tersebut. Dengan kata lain, Nazar seolah menunjukkan kedekatan dirinya dengan SBY. Dari surat itu seolah menggambarkan adanya transaksi diantara keduanya.

"Dengan surat itu Nazar seolah mengatakan; tolonglah selamatkan keluarga, dengan begitu saya bisa selamatkan SBY dan keluarganya," katanya.

Seharusnya, jika presiden menginginkan proses hukum berlanjut, surat itu sebaiknya dibiarkan seperti angin lalu. Kalaupun direspon sebaiknya sesaat, melewati utusan, atau melewati gerakan bawah tanah. Sebab, dengan membalasnya akan lebih banyak merugikan presiden dan menimbulkan pertanyaan baru di publik.

SBY telah menggunakan jabatan presidennya untuk menanggapi isu yang sifatnya personal. Bahkan, surat balasan itu menggunakan kops kepresidenan yang dianggapnya tidak perlu dilakukan. Selain itu, lanjutnya, jika presiden cukup arif, seharusnya surat itu tak perlu dibalas dan diekspos kepada publik.

"Ini malah menjadi pertanyaan di publik. Dengan tanggapan presiden itu dimensi kasus ini akan semakin dalam," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement