REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Anggota Komisi III DPR-RI dari PKB, Marwan Ja'far, menyarankan agar intelijen negara memiliki pemetaan yang jelas, mana saja daerah yang menjadi basis radikalisme dan mana yang bukan.
Orang-orang yang diduga terlibat harus sudah terdata dengan jelas sehingga bisa diketahui perannya masing-masing, sekaligus dapat segera dicegah jika akan melancarkan aksi teror.
"Selama ini saya mempertanyakan apakah itu sudah dilaksanakan atau belum. Kalau sudah, kenapa bisa kecolongan seperti yang terjadi di Solo," ujarnya, saat dihubungi, Senin (26/9).
Pihaknya menyesalkan terjadinya insiden bom bunuh diri di Gereja Kepunton, Solo, Jawa Tengah. Menurutnya, ini adalah bukti intelijen belum mampu melakukan pemetaan dan 'profiling' orang-orang yang diduga masuk dalam gerakan garis keras yang kerap melancarkan aksi teror.
Menurutnya, Badan Intelijen Negara (BIN) dan intelijen lain baik dalam tubuh TNI maupun Polri, seharusnya mampu melakukan pemetaan secara komprehensif. Ketika aksi bom bunuh diri terjadi, maka intelijen sepenuhnya tak bisa mengelak lagi, bahwa mereka memang patut disalahkan.
Sementara itu, Anggota Komisi I, Tjahyo Kumolo, berjanji akan mempertanyakan Kepala BIN, Jenderal (Pur) Sutanto, yang melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) secara tertutup bersama Komisi I DPR. Pihaknya akan mempertanyakan apakah ada unsur pembiaran sehingga aksi bom bunuh diri terjadi. Kedua, apakah intelijen sudah mengetahui informasi akan adanya aksi bom bunuh diri.
Kalau memang sudah mengetahui, kata Tjahyo, tak menutup kemungkinan pihaknya akan menilai ada unsur pembiaran di balik aksi bom bunuh diri yang menyebabkan belasan orang terluka. "Intelijen itu bertugas untuk menghimpun informasi di masyarakat tentang apa pun, termasuk gerakan garis keras. Intelijen harus mengetahui dengan detail siapa saja yang terlibat dalam aksi tersebut," ujarnya.