REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-- Komite Etik KPK telah selesai mengemban tugas. Hasilnya pun sudah disampaikan kepada public. Namun, ternyata sejumlah pihak tidak terlalu puas dan menilai komite etik justru telah menciptakan preseden buruk.
Ketua Setara Institute, Hendardi mengatakan, dugaan pelanggaran etik oleh Chandra M Hamzah yang bertemu dengan M Nazaruddin dilihat bukan sebagai pelanggaran. Chandra diberikan peringatan untuk berhati-hati. “Kalau itu hanya produk nasehat seorang kawan yang sedang dirundung masalah, bukan produk kerja komite etik,” katanya, Rabu (5/10).
Menurutnya, keterangan dari petinggi Partai Demokrat bahwa telah terjai pertemuan antara Chandra dan Nazar diabaikan oleh komite etik. Padahal, dalam UU KPK ditegaskan etika untuk tidak berhubungan dengan pihak yang sedang berperkara dengan ancaman sanksi.
Seruan agar berhati-hati pun ditujukan kepada Haryono Umar. Sedangkan para pimpinan KPK yang lain yang diduga melanggar kode etik seperti Ade Raharja dan Bambang Sapto hanya sebatas telah melakukan pelanggaran ringan.
Ia beranggapan pembiaran pelanggaran etik tanpa pertanggungjawaban, kecuali nasehat untuk berhati-hati, nyata-nyata menampilkan kerja Komite Etik tak lebih dari sekadar binatu bagi sejumlah pimpinan KPK yang diduga melanggar kode etik.
Dari hasil-hasil itulah, produk kerja komite etik KPK telah menciptakan presiden buruk bagi penguatan integritas KPK di masa depan. “Ke depan, para pimpinan KPK dianggap sah untuk melakukan pertemuan dengan pihak-pihak termasuk petinggi partai politik yang kader-kadernya diduga terlibat perkara korupsi,” katanya.
Padahal, Komite Etik sejak awal diharapkan mampu memulihkan kepercayaan publik pada KPK justru semakin memperkuat dugaan publik bahwa Komite Etik hanya ditujukan untuk “menyelamatkan” pimpinan KPK dengan semangat kolektivisme.
Komite Etik memilih menyelamatkan pribadi-pribadi pimpinan KPK yang akan berakhir masa tugasnya daripada menegaskan integritas KPK yang tidak memberikan toleransi segala jenis pertemuan dengan orang yang diduga melakukan korupsi. “Keputusan konyol ini hanya semakin melemahkan KPK,” katanya.