REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tiga guru besar dari tiga universitas berbeda sama-sama keberatan menghadapi konten-konten yang terdapat dalam RUU Pangan. Mereka adalah Profesor Hermanto Siregar dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Profesor Masyhuri dari Universitas Gajah Mada (UGM), dan Dr Ronnie Natawijaya dari Universitas Pajajaran.
Menurut Hermanto, ada konten yang membahayakan terkait RUU Pangan yang dikemukakan anggota DPR dan Panja RUU Pangan. Ada usulan regulasi memberi kewenangan besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pangan.
“Kewenangan pemda boleh saja ditingkatkan. Tetapi pusat tetap jadi pengendali utama, khususnya beras,” katanya dalam rilisnya.
Urusan pangan, menurut Wakil Rektor IPB tersebut tak boleh diserahkan sepenuhnya kepada pemda. Sebab, sumberdaya manusia di daerah masih sangat terbatas. Ia meragukan kemampuan daerah dalam mengelola komoditas pangan lokal, apalagi jika daerah mendapa wewenang mengurus komoditas pangan utama, seperti beras.
Dalam urusan distribusi dan menjaga stabilitas harga, menurut Hermanto, kompetensinya masih ada pada Bulog. Sebab Bulog sudah didukung dengan sarana dan prasarana lengkap hingga ke pelosok tanah air. Pemerintah daerah belum akan mampu melakukan utilisasi instumen distribusi dan kontrol harga seperti yang sudah dilakukan Bulog.
Kritik tentang isi RUU Pangan makin deras terlontar dari guru besar ekonomi pertanian UGM Masyhuri. “Saya tidak setuju jika urusan pangan seratus persen diserahkan ke daerah,” ujarnya. Dengan konsep desentralisasi pangan yang membabi buta, tujuan untuk memperkuat ketahanan pangan malah tidak tercapai.
Hal yang terjadi justru makin suburnya liberalisasi pangan. Daerah yang surplus komoditas pangan utama akan cenderung membuat harga tidak menarik. Akhirnya daerah tersebut akan mengurangi produksi pangan utama dan beralih ke komoditas yang memiliki nilai jual tinggi. Sementara daerah yang defisit pangan bakal semakin terjepit, karena terus bergantung pada impor.
Sementara Ronnie Natawijaya menyarankan agar rencana pengesahan RUU Pangan oleh DPR ditangguhkan dulu. Alasannya, masih banyak sisi abu-abu dan lubang-lubang yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.
“Kesannya terburu-buru, padahal urusan pangan ini sangat vital bagi rakyat. Ada apa ini?” ujar Direktur Pusat Penelitian, Kebijakan dan Agribisnis Pangan Universitas Pajajaran tersebut.
Ia heran, RUU Pangan sudah memasuki proses pembahasan oleh pemerintah, dan tinggal satu pintu lagi untuk pengesahannnya. Padahal, banyak pihak Perguruan Tinggi belum dimintai masukan.