REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Setiap Warga Negara Indonesia (WNI) tidak akan dibiarkan memiliki aset yang tidak sesuai dengan penghasilannya. Dalam Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana, negara akan merampas kekayaan tidak wajar seseorang yang tidak dapat dijelaskan (unexplain wealth).
Oleh karena itu, penegak hukum tidak perlu menunggu hasil penyidikan pidana untuk menyita aset seseorang. "Kalau pendekatan harus bertemu pidana harus ada pelapor ada saksinya. Sehingga kita pendekatannya unexsplain wealth," ujar Kepala Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan, M. Yusuf.
Hal itu disampaikan dia saat seminar nasional 'Rezim Perampasan Aset untuk Mendukung Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,' di Jakarta, Senin (28/11).
Seperti tertera pada pasal 3 Undang-Undang Perampasan Aset, aset dapat dirampas ketika aset yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau yang tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaannya dan tidak dapat membuktikan asal usul perolehannya secara tidak sah.
Aset yang tidak seimbang tersebut dihitung melalui total kekayaan dikurangi penghasilan yang diperoleh secara sah. Akan tetapi, Yusuf mengungkapkan untuk mencegah adanya penyalahgunaan wewenang, maka perlu petunjuk perhitungan total kekayaan yang dikeluarkan oleh lembaga negara. Yakni, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, Laporan Pajak Penghasilan Pegawai, dan Surat Pajak Tahunan.
Selain itu, rancangan beleid ini mengatur untuk perampasan aset yang berasal dari tindak pidana. Berdasarkan pasal 2, aset yang didapatkan langsung atau tidak langsung dari tindak pidana akan dirampas. Termasuk yang sudah dihibahkan dan dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain, korporasi, berupa modal, pendapatan, mau pun keuntungan ekonomi lain yang diperoleh dari kekayaan tersebut.
Aset tersebut harus berasal dari tindak pidana dengan ancaman pidana penjara lebih dari empat tahun dengan nilai paling sedikit Rp 100 Juta. Meski RUU ini berada di luar ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP), Ketua tim penyusun RUU Perampasan Aset, Yunus Husein, mengungkapkan sebenarnya sudah ada Undang-Undang pengesahan (ratifikasi) dari hukum internasional.
Yakni, Konvensi PBB menentang korupsi Tahun 2003 (UNCAC,2003),Konvensi PBB menentang kejahatan transnasional terorganisir (United Nations Convention Against Transnational Organized Crimes/UN-CATOC) dan Financial Action Task Force (FATF).