REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK - Para peneliti di Indonesia umumnya kesulitan untuk menginvensi produk temuannya. Hal ini, menurut Rektor UI, Gumilar R. Soemantri, dikarenakan para peneliti 'kedodoran' dalam bantuan hukum untuk deal di tingkat industri.
"Para peneliti selama ini belum punya keahlian untuk memahami dan menjalani proses sehingga karya mereka bisa dipakai oleh industri, sehingga hak cipta serta keuntungan yang sifatnya menjadi hak peneliti, besar justru tidak mendapat keuntungan apa-apa bahkan nama pun tidak," ujarnya saat peluncuran UI GreenMetric Ranking of World Universities 2011 di Perpustakaan Baru UI pada Rabu (14/12).
Menurutnya, riset dan publikasi karya ilmiah di Indonesia sangat banyak. "UI saja mempublikasikan 200 artikel per tahunnya, 4-5 tahun yang lalu hanya 5-10 publikasi ilmiah per tahun. Jelas riset dan publikasi ilmiah tidak menjadi masalah," ujarnya kepada Republika.
Gumilar melanjutkan, yang menjadi masalah adalah ketika riset tersebut diarahkan untuk menjadi temuan baru dan dijadikan suatu produk yang bermanfaat dan menghasilkan keuntungan.
"Untuk masuk ke industri memang sulit, harus jelas patennya ada di mana, tentunya ada di peneliti. Dengan adanya bantuan hukum, saya rasa perlu untuk meningkatkan posisi tawar para peneliti di dunia industri," ujar Gumilar.
Bantuan hukum tersebut nantinya, lanjut Gumilar, berupa bantuan konsultasi, bantuan memperoleh paten dan penguatan di direktorat kemitraan itu sendiri. Kami, ujar Gumilar, terus berupaya mendorong para peneliti di UI khususnya agar lebih kreatif dan lebih jeli sehingga mempunyai temuan-temuan apa yang berguna di masyarakat dan sesuai dengan keinginan investor.
"Ada sekitar 2000-an paten di UI yang bisa diimplementasikan, terus kami upayakan bantuan hukumnya," ujar Gumilar.
Di sisi lain, Menteri Riset dan Teknologi, Gusti M. Hatta belum lama ini menyatakan, para peneliti di Indonesia bukan hanya kesulitan dalam memperoleh hak paten, tetapi bagaimana cara memelihara hak paten tersebut.
"Para peneliti jika sudah memperoleh hak paten, kebingungan juga bagaimana memelihara hak patennya, karena membutuhkan dana yang cukup besar," ujar menteri.
Sulitnya memelihara hak paten, ujar Gusti, diantaranya karena anggaran yang minim di Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek). Tahun depan, ujarnya, anggaran sebanyak Rp 6,25 triliun.
Sekitar separuh dari Rp 6,25 triliun, habis digunakan untuk biaya gaji pegawai sehingga otomatis biaya riset dan pengembangan terlampau kecil. "Angkanya untuk penelitian memang belum ideal mengingat banyak sekali anggaran negara dialokasikan untuk peningkatan kesejahteraan warga di desa," ujarnya.