Jumat 23 Dec 2011 17:02 WIB

Turki-Prancis Memanas, Paris Muluskan UU Genosida Armenia di Era Ottoman

Bendera Perancis Turki
Bendera Perancis Turki

ANKARA - Duta besar Turki akan meninggalkan Paris, Jumat (23/12) akibat satu konflik dengan Prancis menyangkut satu undang-undang. Sumber ketegangan adalah sebuah UU yang menyatakannya ada pelanggaraan kejahatan karena mengingkari pembantaian orang-orang Armenia oleh pasukan Ottoman Turki tahun 1912.

Ankara membekukan hubungan-hubungan militer dan diplomatik dengan Paris, Kamis (23/12) setelah parlemen Prancis menyetujui rancangan undang-undang itu, sementara kedutaan besar Turki di Paris mengatakan dubesnya telah dipanggil pulang dan akan bertolak Jumat.

"Ini adalah politik yang didasarkan rasisme, diskriminasi dan kebencian," kata Perdana Menteri Tayyip Erdogan, Kamis (22/12). Ia memperingatkan akan ada "kerusakan yang tidak dapat diperbaiki" pada hubungan-hubungan dan menangguhkan kunjungan-kunjungan politik antara dua sekutu NATO itu.

"Mulai sekarang kami akan meninjau kembali hubungan kami dengan Prancis," tambahnya. "Tidak ada genosida dilakukan dalam sejarah kami. Kami tidak dapat menerima ini."

Berdasarkan rancangan undang-undang itu, siapapun dapat dipenjarakan selama satu tahun dan menghukum denda 45.000 euro karena mengingkari bahwa pembunuhan ratusan ribu warga Armenia oleh pasukan Turki Ottoman dalam Perang Dunia I merupakan genosida.

Sebagai pembalasan, PM Turki itu mengatakan negaranya akan memutuskan kasus per kasus pada setiap permintaan Prancis untuk menggunakan wilayah udara atau pangkalan militer Turki dan melarang kapal-kapal perang Prancis singgah di pelabuhan-pelabuhan Turki.

Turki juga akan memboikot pertemuan satu komite ekonomi Januari mendatang di Paris, kata Erdogan-- satu tindakan yang akan membuat para pemimpin bisnis kedua negara khawatir akan nasib perdagangan 12 miliar euro (16 miliar dolar AS) per tahun.

Di Paris Menlu Alain Juppe menyebut keputusan Turki itu sangat disesalkan, dan mendesak negara itu tidak "bertindak melampaui batas". "Turki adalah sekutu Prancis dan satu mitra penting," kata Jupe, dan menambahkan usaha-usaha harus dilakukan negara-negara NATO dan G-20 untuk menangani krisis di Suriah, mewujudkan perdamaian di Afghanistan dan membangun keamanan di Mediterania.

"Yang kami inginkan adalah sahabat Turki kami tidak akan bertindak melampaui batas pada keputusan Majelis Nasional (parlemen) Prancis." Para pendukung mengatakan rancangan undang-undang itu, yang akan dibahas oleh Senat dan komite-komite parlemen dan mungkin akan diberlakukan tahun depan, adalah satu tindakan yang terlambat untuk menjamin salah satu dari pembantaian-pembantaian terbesar abad itu tidak dilupakan.

Tetapi Turki bersikeras bahwa perkiraaan Armenia 1,5 juta warganya tewas terlalu dibesar-besarkan. Ankara menyebut jumlah korban tewas sekitar 500.000 orang dan membantah itu adalah genosida-- dan menyebut kematian itu akibat perang dan kelaparan dalam Perang Dunia I dan menuduh Armenia berpihak dengan para penyerbu Rusia.

AS mendesak Prancis dan Turki-- keduanya anggota NATO -- menghentikan pertikaian itu. "Kami ingn melihat adanya hubungan baik antara Prancis dan Turki, kami mengharapkan mereka dapat menyelesaikan konflik antara mereka, mereka adalah sekutu-sekutu dan mitra-mitra NATO," kata seorang diplomat senior yang tidak bersedia namanya disebutkan.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement