REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat politik dari Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti, menilai praktek demokrasi di Indonesia masih diwarnai penyimpang di berbagai lini. Ia mencatat, setidaknya terdapat lima preseden negatif yang berkembang sepanjang tahun 2011.
Pertama, pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung mengakibatkan pencalonan yang sembrono oleh partai-partai politik. Tren yang berkembang, parpol suka mengambil jalan pintas, merekrut orang-orang yang memiliki dana dan popularitas daripada orang-orang yang memiliki kualitas dan kompetensi untuk memimpin. “Banyak kepala daerah karbitan yang tidak becus memimpin,” ungkapnya kepada Republika.
Kedua, demokrasi tanpa etika yang dipahami sebatas soal boleh atau tidak seperti yang tertulis dalam undang-undang. “Kepala daerah yang sudah selesai masa jabatan lalu mencalonkan istrinya, lalu istri keduanya. Mereka bilang karena itu tidak dilarang undang-undang. Bahkan, ada mantan kepala daerah ikut mencalonkan diri di daerah yang lain,” lanjutnya.
Ketiga, tanggung jawab kepala daerah terhadap tugas-tugasnya makin semakin menipis. Akibatnya, banyak terjadi perpisahan antara kepala dan wakil kepala daerah yang sudah terpilih. “Mereka tidak dipertemukan dengan ide dan tujuan yang sama, tapi dipertemukan oleh kepentingan sesaat.”
Keempat, lanjutnya, nepotisme politik makin merajalela dan menggurita. Biaya politik dan kampanye yang besar menjadikan hanya orang-orang tertentu yang dapat bersaing dalam pemilihan. “Seorang kepala daerah di Banten punya 18 kerabat di struktur pemerintahan,” contohnya
Terakhir, koneksitas antara pemilih dan yang dipilih semakin jauh. "Wakil rakyat di DPR semakin tidak nyambung dengan konstituennya dan tak mengerti kehendak rakyat," ujarnya. Begitu pun kepala daerah dan itu, imbuhnya terbukti dengan banyaknya kasus kekerasan antara rakyat dan pemerintah seperti di Mesuji dan Bima. "Dengan adanya kasus seperti itu, ironisnya kepala daerah seperti bungkam tanpa ada pembelaan terhadap rakyat,” pungkasnya.