Jumat 27 Jan 2012 15:47 WIB

Urgensi Sertifikasi (Labelisasi) Halal (1)

Halal (ilustrasi)
Foto: mui.or.id
Halal (ilustrasi)

Oleh: Joko Hermanianto*

Dalam sebuah diskusi tentang pangan halal di Jawa Tengah awal bulan ini, penulis mendapatkan pertanyaan yang sangat menarik dari kalangan tokoh masyarakat, yaitu bagaimana cara menentukan halal haramnya sebuah produk?

Apakah perusahaan mengirim contoh produk lalu dianalisis oleh LP POM MUI di laboratorium untuk kemudian ditentukan apakah layak mendapatkan sertifikasi halal atau tidak, ataukah MUI juga meninjau dan mengaudit langsung ke pabrik? Penulis berpendapat barangkali inilah pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul di tengah masyarakat terkait dengan persoalan halal haramnya sebuah produk.

Titik Halal Haram dalam Teknologi Pangan

Kalau menjawab apa saja yang halal, pada prinsipnya Allah SWT menciptakan beragam jenis makanan yang tidak terhingga banyaknya, yang semuanya memiliki hukum asal mubah (boleh). Karena itu, yang harus diperhatikan adalah apa yang Allah haramkan.

Untuk menguji umatnya, Allah SWT hanya mengharamkan sedikit saja jenis makanan. Bahkan dalam Alquran, yang diharamkan berjumlah tidak lebih dari lima jenis kategori pangan, seperti tercantum dalam Surat Al-Baqarah ayat 173. Allah berfirman, "Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut nama selain Allah."

Sementara pada Surat Al-Baqarah: 219, An-Nisa: 43, dan Al-Maidah: 90, yang diharamkan bertambah satu jenis lagi, yaitu khamr. Selain itu, pada Surat Al-A`raf: 157, klasifikasi pangan yang dilarang adalah segala hal yang buruk. Penjabaran hal yang buruk ini dapat dilihat pada beragam hadits, di mana Rasulullah SAW mencontohkan beberapa produk pangan yang dilarang, seperti binatang buas yang bertaring, dan tiap-tiap yang mempunyai kuku pencengkraman dari burung, anjing, binatang yang dilarang dibunuh, binatang yang disuruh dibunuh, binatang menjijikkan, dan lain-lain.

Perkembangan teknologi pangan yang pesat dan komplek serta era globalisasi, menyebabkan konsep halal perlu dilihat secara multidimensi. Teknologi pangan telah berkembang sedemikian rupa sehingga hal-hal yang dulunya mudah diidentifikasi jenis dan asal-usulnya, sekarang tidak sesederhana itu. Sebab, bahan pangan telah diproses sedemikian rupa sehingga sifat fisik (bentuk, warna, dan lain-lain), kimia dan bahkan sifat organoleptiknya juga sudah berubah dari bentuk aslinya.

Dewasa ini dikenal ada pangan generasi I, generasi II, generasi III dan generasi IV. Satu contoh babi diolah menjadi sate (I), sosis/bakso (II), kulit babi menjadi gelatin (III), daging dan kulit babi menjadi asam amino (IV). Gelatin digunakan di farmasi (misal sebagai bahan baku kapsul, enkapsulasi obat), di pangan (misal permen jelly, emulsifier di es krim, pengenyal sosis), di kosmetik (misal pelembut kulit, penyembuh luka), dan masih banyak lagi kegunaannya.

Lemak babi untuk sosis, ditambahkan ke minyak goreng/shortening, diproses menjadi gliserol/gliserin untuk pelembab dan plastiliser, dan lain-lain. Darah babi diproses menjadi sosis, plasma darah, serum darah, tepung darah, zat besi, dan lain-lain. Juga adanya bahan tambahan makanan, membuat formula makanan menjadi semakin kompleks.

* Dosen Ilmu dan Teknologi Pangan, serta Peneliti Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) IPB

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement