REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia, Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), dan Real Estate Indonesia (REI) menghadap DPR Komisi XI hari ini. Mereka mulai gerah dengan polemik ketidaksesuaian antara pemerintah dan perbankan mengenai suku bunga perumahan.
"Kami (pengusaha) hampir tak ada yang tak dizalimi," kata Ketua Umum Apersi Eddy Ganefo di Gedung DPR, Kamis (9/2). Hingga Februari 2012, Apersi hampir membangun 23 ribu unit rumah untuk masyarakat berpendapatan rendah, 10 ribu unit di antaranya seharusnya sudah siap akad kredit. Namun, tak kunjung terealisasi.
Hal ini menyebabkan pengusaha-pengusaha kecil dan menengah merugi besar. Apalagi, mereka harus terbebani bunga pinjaman ke bank satu persen per bulan. Pengusaha-pengusaha kecil yang tergabung dalam Apersi dituduh menipu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Sebab, MBR dijanjikan dapat menempati rumah mereka pada Januari 2012. Pengusaha bahkan ketakutan sebab dikejar-kejar oleh tukang bangunan, dan suplier.
Pada 16 Januari 2012, kata Eddy, Apersi sudah menghadap Kementerian Perumahan Rakyat. Saat itu, Menpera menjanjikan dua minggu setelah itu keran akad kredit akan dibuka kembali. Ternyata, hingga 1 Februari masih terkunci rapat.
Wakil Ketua Umum Bidang Infrastruktur, Konstruksi dan Properti Kadin Zulkarnain Arief mengatakan hampir 30 ribu unit rumah yang telah terbangun oleh pengusaha-pengusaha di Kadin di seluruh Indonesia yang belum menjalankan transaksinya. Padahal, Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral sudah mematok BI rate enam persen. Tapi, perbankan justru mematok bunga 8,15 - 9,9 persen.
"Sektor perumahan kita sudah diambang krisis," kata Zulkarnain. Oleh karenanya Kadin berharap banyak kepada DPR.
Sebetulnya, kata Zulkarnain, Kadin tak menuntut suku bunga yang diambil perbankan harus 5-6 persen. Namun, yang mereka harapkan adalah perbankan meminimalkan suku bunga di bawah delapan persen. Kadin berharap DPR dapat ikut mendorong revisi kebijakan perbankan tersebut.