REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), mengungkapkan konflik yang terjadi akibat perebutan lahan yang berbuah tindakan kekerasan dengan penembakan, pembunuhan, dan pemenjaraan warga setempat ternyata tidak memengaruhi secara langsung jalannya produksi tandan buah sawit (TDS) dan distribusi CPO (Crude Palm Oil).
Padahal kekerasan yang diakibatkan dari konflik perkebunan sudah melibatkan petani, warga setempat, dan pekerja pabrik sawit. Hal tersebut disampaikan anggota Eksekutif Nasional Walhi, Mukri Friatna, dalam rilis yang diterima Republika, Jumat (24/2).
Menurutnya, sepanjang 2011 lalu, nilai ekspor CPO dari Indonesia mencapai 16,5 juta ton atau meningkat 7,3 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Sementara itu, Koordinator Nasional Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK), Muhamad Djauhari, mengatakan sudah seharusnya pemerintah menghentikan sementara ekspor CPO Indonesia. Karena pemicu konflik petani di Indonesia disebabkan adanya ketidakjelasan lahan kelapa sawit untuk industri CPO dengan lahan masyarakat adat.
Berdasarkan catatan KpSK, hampir 30 persen klaim kawasan hutan yang diklaim oleh masyarakat atas kawasan hutan negara saat ini telah dikonversi ke perkebunan sawit.
Jadi, menurut dia, kenapa kemudian muncul beberapa kasus pelanggaran HAM seperti penembakan serta pemenjaraan, itu berawal dari konflik klaim kawasan hutan. Terutama yang dikonversi menjadi perkebunan sawit yang tidak pernah diselesaikan oleh pemerintah. "Pemerintah sendiri menyadari bahwa 56 persen kawasan hutan itu dalam kondisi konflik," kata Jauhari.