REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (28/2), menolak tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta terdakwa Hakim Syarifuddin untuk melakukan pembuktian terbalik terhadap mata uang asing yang ditemukan saat penggeledahan dirumah terdakwa, di Komplek Kehakiman,Sunter Jakarta Utara.
"Dalam dakwaan penuntut umum hanya mendakwakan perihal uang Rp 250 juta, adapun (uang) yang tidak didakwakan maka barang bukti dikembalikan kepada terdakwa," kata Hakim Anggota Ugo, di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum KPK, dalam surat tuntutannya memberikan kesempatan kepada Hakim nonaktif Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk melakukan pembuktian terbalik terhadap sejumlah uang yang ditemukan saat penyidik KPK menggeledah rumahnya.
Apabila Syarifuddin tidak dapat membuktikan uang dalam pecahan mata uang asing itu secara sah, maka sesuai ketentuan pasal 17 dan 18 ayat 1 dan Pasal 38B Undang-Undang No.31/1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi uang-uang itu akan dianggap diperoleh dari tindak pidana korupsi dan dirampas untuk negara.
Dalam peristiwa tangkap tangan, Penyidik KPK menemukan uang dalam pecahan rupiah maupun asing di rumah hakim pengadilan negeri Jakarta Pusat nonaktif, Syarifuddin.
Untuk uang dalam pecahan rupiah senilai Rp55 juta, Jaksa KPK menanggap nilai itu wajar dimiliki oleh seorang hakim. Karenanya, Jaksa Penuntut Umum tidak perlu dibuktikan sumber perolehannya melalui pembuktian terbalik.
Namun, untuk uang pecahan asing berupa US$116 ribu, SGD245 ribu, ¥20 ribu, Riel Kamboja sebesar 12.600 dan 5900 Bath Thailand, perlu dibuktikan asal-muasalnya. Majelis hakim pun kemudian memutuskan untuk mengembalikan mata uang asing tersebut kepada Syarifuddin.