REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Internal Kejaksaan Agung masih tarik ulur dalam status mantan Wakil Direktur Utama PT Indosat Tbk, Kaizad Bomi Heerjee dalam kasus korupsi Indosat yang disebut-sebut merugikan negara sebesar Rp 3,8 triliun. Menurut pengamat hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), Abdul Fikar Hajar, sikap tarik ulur itu mengindikasikan adanya 'permainan' dalam penanganan kasus korupsi Indosat yang dilakukan oknum Kejaksaan Agung.
"Menurut saya, kalau memang terjadi seperti itu, indikasi adanya permainan di internal Kejaksaan Agung dalam kasus korupsi Indosat sangat kuat," kata Abdul Fikar Hajar yang dihubungi Republika, Selasa (6/3).
Fikar menambahkan pernyataan Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus), Arnold Angkouw yang menyampaikan Kaizad Bomi Heerjee sudah ditetapkan sebagai tersangka, tidak mungkin salah. Pasalnya seorang Dirdik tidak akan mungkin salah dalam memberikan pernyataan terkait kasus yang ditangani penyidiknya.
Dengan adanya tarik ulur status Kaizad Bomi Heerjee, ia mengindikasikan ada dua ketidakwajaran dalam kasus tersebut, yakni tekanan dari luar negeri dan tekanan dalam bentuk materi. Tekanan dari luar negeri dilihat dari posisi Kaizad yang merupakan bagian dari perusahaan besar dari Singapura, Temasek. Sedangkan tekanan dalam bentuk materi ada oknum Kejaksaan Agung yang telah menerima sejumlah materi untuk 'memundurkan' status Kaizad.
Ia pun mengimbau agar Jaksa Agung, Basrief Arief dapat dengan tegas melakukan pembersihan dan menindak tegas oknum-oknum yang 'mempermainkan' kasus korupsi Indosat. Jika perlu ia meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengambil alih kasus tersebut. "KPK bisa melakukan supervisi kasus Indosat karena ini sudah ada indikasi korupsi di atas penanganan kasus korupsi," tegasnya.