REPUBLIKA.CO.ID,Dada Julius Caesar membusung penuh kebanggaan. Di depannya, membungkuk Vercingetorik, yang bersiap menyerahkan pedangnya sebagai simbol takluknya suku liar Galia. Ketika menerima pedang, berbagai senjata lain meluncur ke arahnya. Pedang, tombak dan perisai berdentaman menimpa kaki sang Caesar. Dan, keadaan pun berbalik: giliran warga Galia -- Asterix, Obelik, dan dukun Panaromik -- melonjak-lonjak tertawa kegirangan, sementara Kaisar Romawi itu menjerit-jerit tak karuan lantas menangis tersedu-sedu. Kisah petualangan Asterix itu jelas sudah melenceng. Rujukan sejarah baku dipinggirkan. Kharisma Julius Caesar dan kehebatan laskar Romawinya diporak-porandakan. Tapi, akibatnya di luar dugaan: komik konyol yang cerdas itu justru laris di pasaran.
Komik sekarang memang telah menjadi komoditi dagang yang menggiurkan. Bahkan, sudah bukan rahasia bila komik sejenis lainnya, semacam Kungfu Boy, Dora Emon, Tarzan, Star Trek, Flash Gordon, dan Batman, menduduki tempat terhormat di televisi atau film. ''Untuk Asterix yang kini sudah menginjak cetakan ke tujuh, menurut penerbit aslinya di Prancis, sudah mencatat rekor cetakan terbesar,'' kata penerjemah serial Asterix, Rahartati Bambang Haryo. Lantas di manakah posisi komik Indonesia? Pertanyaan ini memang sulit dijawab. Apalagi, dunia komik Indonesia sekarang tengah ''mati angin''. Komik dalam negeri terkubur diterpa badai komik impor Jepang, Korea, Eropa dan Amerika. Lebih dari itu, posisi komik sendiri dalam sastra Indonesia tetap saja kabur: termasuk sastra serius, populer, atau justru bukan sastra. Akibatnya, sangat masuk akal, komik masih dianggap sebagai sesuatu yang remeh. Dan lebih tragis lagi, dalam benak banyak orang komik tak lebih dari sekadar ''bacaan keparat''.
''Padahal komik sendiri sebenarnya punya arti. Yaitu sebagai jembatan budaya visual dan budaya tulis,'' tegas Rahayu S. Hidayat, Ketua Kajian Komik Indonesia. Malahan, lanjut Rahayu, komik juga bisa menjadi kajian Semiotika. Komik tidak bisa hanya dipahami secara tunggal. Sebab, berkaitan dengan sistem lambang yang dipakai manusia untuk menyatakan sesuatu. Komik Asterix misalnya, walau ceritanya sangat kocak dan konyol, dengan gamblang menggambarkan idealisme orang Prancis.
Asal usul komik sendiri sebenarnya bisa dilacak hingga ribuan tahun silam. Kebiasan menuangkan gagasan dalam bentuk gambar sudah dapat dilihat pada peninggalan berbagai ragam cerita bergambar di dinding-dinding gua kuno. Di Indonesia, gambar serupa tersebar di gua-gua yang ada di Sulawesi, Kalimantan dan Irian. Sedangkan tradisi komik modern Indonesia -- ada cerita, teks, serta gambar -- bisa dirunut mulai abad ke-18 dengan munculnya komik Mahabarata yang dibuat oleh para santri yang tinggal di Cirebon. ''Mungkin malah lebih jauh dari itu, jika kita mengacu pada relief candi-candi, cerita bergambar pada daun lontar Bali dan wayang beber,'' kata Rahayu pada Republika, pekan lalu.
Kajian khusus mengenai komik Indonesia sendiri hingga kini nyaris belum ada. Apalagi kajian dari aspek sastranya. Keadaan ini jauh berbeda dengan kenyataan di luar negeri. Di Prancis misalnya, komik malah diperlakukan sebagai sarana untuk mengantarkan masyarakat agar berkenan membaca karya sastra serius semacam Shakespeare. Pakar Semiotioka dan penggagas postmodernisme, Umberto Eco dan Roland Barthes, malah telah melakukan penelitian untuk mengungkap mitologi serta struktur yang tersembunyi di balik komik. Keadaan itu memang sedikit tertolong oleh hadirnya disertasi Marcel Boneff, Les Bandes Dessinees Indonesiennes, 1976. Dari disertasi ini dapat diketahui lima fase perjalan dunia komik di Indonesia: periode pengaruh Barat dan Cina, Kepribadian Nasional, Komik Medan, Nasionalisme ala Soekarno, serta Roman Remadja dan Komik Silat.
Periode Barat dan pengaruh Cina (1931-1954), menurut Boneff, ditengarai terbitnya komik Flash Gorfon, Put On, dan Flippie Flink, yang dimuat majalah De Orient, Sin Po, serta Java Bode. Setelah perang dunai II usai, muncullah komik Si Tolol, Oh Koen, Kisah Jendral Kaisar T'ai Tsung, dan Sie Djin Koei. Pada masa yang sama, komik khas Indonesia -- Mentjari Puteri Hidjau, Roro Mendut, dan Pangeran Diponegoro -- mulai bermunculan. Malahan pada tahun 1954, komik mengalami perubahan drastis karena mulai diterbitkan dalam bentuk buku. Maka munculah komik laris seperti Sri Asih dan Siti Gahara, Puteri Bintang, Garuda Putih, dan Sri Rimba. Berikutnya adalah masa komik Medan (1954-1960) yang ditandai terbitnya komik-komik berlatar belakang epos Mahabarata dan Ramayana, legenda, sejarah kerajaan serta dagelan. Tema ini beralih pada masa 1960-1963. Komikus Taguan Hardjo, Djas dan Zam Nuldyn hadir dengan komik petualangan, seperti Telandjang Udjungkarang, Mati Kau Tamaksa, Musang Berjanggut, Kisah Kapten Jani, dan Dewi Krakatau.
Setelah masa Medan surut, muncullah komik nasionalisme ala Soekarno (1963-1966). Komik dengan tema kepahlawanan, seperti pemberontakan Trunojoya, pembebasan Irian Barat dan kisah di sekitar revolusi fisik 1945 membanjiri pasaran. Semangat anti neo-kolonialisme -- Hantjurlah Kubu Nekolim, Udin Pelor, Melati di Sarang Pemberontak -- juga menjadi temanya. Usai pemberontakan PKI, muncul komik Bandjir Darah di Kabut Pagi karya Jas S. Putera dan Rusnaizur. Kajian Boneff diakhiri masa komik bertema roman remaja dan komik silat (1966-1974). Cerita drama kehidupan remaja karya Budijanto, Zaldy, dan Jan Mintaraga, seperti Rambut Sasak, Impian Kemarin, dan Rhapsody Dalam Sendu, menggebrak pasar. Puncaknya, hadir serial silat Si Buta dari Gua Hantu (Ganes Th), Lebak (Djair), dan Djampang (A. Tatang).
Setelah 1974 komik lokal menunjukan grafik terus menurun, karena tersaingi komik impor dari Amerika, Eropa, Jepang serta Hongkong. Pada pertengahan dekade 90-an, mahasiswa ITB yang tinggal di komplek Cigadung, memang hadir dengan konsep cerita barunya --Kapten Bandung, Pahlawan Pembela Kebetulan. Namun, ini toh belum mampu mengangkat nasib dan citra komik Indonesia, termasuk belum mampu meneroboskannya sebagai karya ''sastra-bergambar'' yang mampu menarik minat para pengamat atau kritisi sastra. Para komikus kita agaknya masih harus ''menangis'' layaknya ''tangis'' Julius Caesar ketika ditertawakan warga Galia dalam komik Asterix.