REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Undang-Undang (UU) Minyak Bumi dan Gas (Migas) dianggap telah merendahkan martabat bangsa dan melanggar konstitusi. Hal itu lantaran UU Migas telah mendegradasi kedaulatan negara, kedaulatan ekonomi, dan mempermainkan kedaulatan hukum.
"Sehingga menjadi UU yang dzalim terhadap Indonesia," kata Kuasa Hukum Pemohon Syaiful Bakhri saat membacakan permohonan dalam sidang pemeriksaan perkara uji materi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (17/4).
Dalam pembentukan UU tersebut, kata dia, terdapat desakan internasional untuk melakukan reformasi dalam sektor energi, terutama migas. Menurut dia, reformasi bukan seharusnya bukan hanya terfokus pada upaya pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM), tetapi dimaksudkan untuk memberikan peluang kepada korporasi internasional untuk merambah bisnis migas di Indonesia.
Dalam hal tersebut, Syaiful mewakili pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama beberapa organisasi keagamaan selaku pemohon. Menurut dia, para pemohon menilai bahwa UU Migas telah merugikan seluruh masyarakat Indonesia.
Dalam permohonan tersebut, pemohon mengajukan sepuluh pasal dalam UU Migas untuk diujimaterikan. Adapun sepuluh pasal tersebut, yaitu Pasal 1 angka 19 dan 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 dan Pasal 44. Para pemohon menyatakan kesepuluh pasal ini bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28D serta Pasal 33 ayat (2) dan (3).
Menurut Syaiful, mekanisme kontrak kerja sama yang diatur dalam Pasal 1 ayat (19) sangat merendahkan martabat negara. "Ini karena dalam kontrak kerja sama, yang berkontrak adalah BP Migas atas nama negara berkontrak dengan korporasi atau korporasi swasta, sehingga apabila terjadi sengketa, selalu menunjuk arbitrase Internaional," ujarnya.