REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Perseteruan antara Dewan Pimpinan Daerah (DPD) II dengan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar terkait percepatan rapat pimpinan khusus (rapimnassus), yang salah satu agendanya menetapkan Aburizal Bakrie menjadi calon presiden (capres) terus mengemuka.
Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar, Akbar Tanjung menyayangkan kisruh di tubuh partainya terkait penetapan calon presiden untuk pemilu 2014. Yaitu antara ketua umum Aburizal Bakrie (Ical) dengan ketua forum komunikasi DPD II Muntasir Hamid. Apalagi sampai adanya ancaman akan membawa perseteruan itu ke ranah hukum.
"Masalah itu tak perlu dibesar-besarkan. Ical pada waktu itu mungkin hanya bercanda, tak ada maksud menghina. Tak perlu dibawa sampai ke polisi. Kita sebagai pemimpin sering dihadapkan pada situasi yang ramai. Seyogyanya kita tak boleh terbawa emosi," kata Akbar melalui sambungan telepon kepada Republika, Jumat (4/5).
Menurut Akbar, sebaiknya Ical mendengar dan memperhatikan aspirasi serta suara DPD II. Pasalnya, mereka merupakan golongan akar rumput yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Mereka juga yang menjadi ujung tombak dalam menjalankan program-program partai.
Ia pun mendorong agar sebagiknya Ical memperlihatkan empati terhadap aspirasi kader. Yaitu, dengan memanggil secara personal dan membicarakan masalah secara baik-baik. Termasuk mengenai apa yang sudah menjadi kebijakan partai serta pandangan DPD II terkait masalah itu.
"Kita harus tetap sabar dalam menghadapi masalah. Itu yang diharapkan dari seorang pmimpin. Makanya, aspirasi di bawah itu perlu diperhatikan," papar mantan Ketua DPR tersebut.
Akbar mengatakan perlu juga DPP melihat sejarah ketika penetapan capres pada pemilu 2004. Kala itu, cerita Akbar, partai menggunakan metode konvensi untuk menetapkan capres yang diusung partai. Meskipun begitu, prosesnya tetap melibatkan seluruh pengurus. Mulai dari DPP, DPD I, dan DPD II.
Pengurus daerah tingkat II pun memiliki suara yang sama seperti DPP dan DPD I dalam menentukan capres. Sehingga kehadirannya tak sekadar sebagai peninjau. Namun juga penentu arah kebijakan partai.
Alasannya, jelas Akbar, rapat pimpinan (rapim) untuk menentukan capres berbeda dengan rapim konvensional yang biasa diseleggarakan partai setiap tahunnya.
"Kualitas dan bobotnya berbeda, posisinya strategis. Putusannya juga punya arti strategis. Makanya wajar kalau DPD II ikut diajak dan memberikan suara. Karena belajar pengalaman kita pada saat menetapkan capres pada 2004, mereka diajak dan punya suara," ujar mantan Ketua Umum Partai Golkar tersebut.