REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG - Mantan Direktur PT Kereta Api Indonesia (KAI) Ronny Wahyudi didakwa merugikan negara Rp 100 miliar atas kegagalan pengelolaan dana investasi milik PT KAI yang dikelola pihak kedua, yaitu PT Optima Karya Capital Management (OKCM).
Dalam dakwaan yang dibacakan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) diketuai Rahman Firdaus pada persidangan perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung, Senin (21/5), Ronny disebutkan telah melanggar anggaran dasar PT KAI, UU BUMN, dan UU Perseroan Terbatas karena menandatangani perjanjian kerja sama dengan PT OKCM sebelum adanya peraturan perusahaan tentang pengelolaan dana melalui manajer investasi.
Kasus tersebut bermula dari surat penawaran PT OKCM tentang program investasi melalui program reksadana yang ditujukan kepada Direktur Keuangan PT KAI Achmad Kuntjoro pada 2006.
Atas surat penawaran tersebut, Kuntjoro kemudian meminta bagian administrasi keuangan dan hukum PT KAI untuk melakukan kajian yang hasilnya menyatakan bahwa pengelolaan dana umumnya dilakukan melalui produk perbankan dan belum ada peraturan perusahaan yang mengizinkan pengelolaan dana melalui pihak kedua non perbankan seperti manajer investasi.
"Untuk melakukan transaksi melalui jasa institusi non perbankan maka harus dilakukan perubahan atau penambahan dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga PT KAI," kata JPU.
Menurut dakwaan JPU, PT OKCM berkali-kali mengirimkan surat penawaran yang ditujukan kepada Kuntjoro hingga Juni 2007 yang ditindaklanjuti dengan pertemuan.
Kuntjoro dan Ronny bersama dengan direksi lain kemudian mengusulkan perubahan dan penambahan anggaran dasar PT KAI untuk menambah jenis kegiatan usaha dalam pengelolaan dana perusahaan.
Ronny dan Kuntjoro pada Februari 2008 kemudian meminta ijin kepada dewan komisaris PT KAI untuk bekerjasama dengan PT OKCM untuk optimalisasi pengelolaan dana PT KAI pada 2008.
PT OKCM akhirnya diundang untuk memberikan presentasi di hadapan komisaris dan direksi PT KAI dan disepakati bahwa perusahaan itu cukup layak untuk menjadi manajer investasi bagi PT KAI.
Komisaris PT KAI kemudian menyurati Ronny yang menyampaikan bahwa investasi bisa dilakukan dalam bentuk 40 persen obligasi, 45 persen pasar uang, dan 15 persen saham dengan keuntungan 12,5 persen per tahun dengan syarat tidak mengganggu operasional perusahaan.
Namun, surat tersebut baru diterima oleh Ronny setelah kerjasama dengan PT OKCM ditandatangani pada 24 Juni 2008 untuk menempatkan dana Rp100 miliar milik PT KAI dalam program reksadana dengan tingkat keuntungan 11 persen. Kerjasama tersebut berdurasi enam bulan yang berlaku hingga Desember 2008.
"Setelah menandatangani perjanjian kerja sama tanggal 24 Juni 2008, PT KAI baru melakukan perubahan anggaran dasar perusahaan sesuai rapat pemegang keputusan saham pada 7 November 2008," kata JPU.
Tanpa persetujuan komisaris, Ronny dan Kuntjoro melakukan pemindahbukuan uang milik PT KAI di BNI Cabang Perintis Kemerdekaan, Bandung, ke rekening PT OKCM.
Kenyataannya, dana milik PT KAI itu hanya Rp 55 miliar yang diinvestasikan dalam reksadana oleh PT OKCM. Selebihnya Rp 45 miliar ditransfer ke rekening beberapa anak perusahaan PT OKCM.
PT OKCM memang membayarkan keuntungan 11 persen yang dijanjikan setiap bulan pada kurun waktu perjanjian Juni-Desember 2008.
Namun, pada jatuh tempo perjanjian Desember 2008 PT PKCM meminta agar PT KAI memperpanjang kerjasama hingga Juni 2009 dengan alasan agar memperoleh tingkat keuntungan yang diharapkan.
PT KAI menolak permintaan tersebut dan meminta agar dana pokok sebesar Rp100 miliar dikembalikan. PT OKCM menjawab dengan permintaan mengembalikan uang tersebut secara mencicil dalam enam bulan dan kesediaan mengeluarkan surat pengakuan utang.
Namun, uang tersebut tidak kunjung dikembalikan sampai saat ini sedangkan Direktur Utama PT OKCM Harjono Kusuma berstatus buron. "Terdakwa telah memperkaya korporasi dalam hal ini PT KCM sebesar Rp 55 miliar dan Harjono Kusuma sebesar Rp 45 miliar," ujar JPU.
Ronny yang tidak berstatus tahanan itu didakwa dengan pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan pasal 3 UU yang sama dalam dakwaan subsider.
Majelis hakim yang diketuai Sinung Hermawan menunda sidang hingga Senin 28 mei 2012 dengan agenda pembacaan eksepsi dari terdakwa. Dalam kasus tersebut, mantan Direktur Keuangan PT KAI Achmad Kuntjoro juga diajukan ke persidangan dalam berkas terpisah.