Semuanya berasal dari jilbab yang dikenakan Izza. Ibu Nita yang sang pemilik perkebunan, dan banyak orang di perkebunan teh itu, tidak bisa menerima adanya keryawan berjilbab. Sebab, jilbab mereka nilai hanya menghambat produktivitas bisnis. Namun, sebuah kenangan lama telah mengubah sikap si pemilik perkebunan dari seorang penentang menjadi pelindung Izza.
Izza hadir bukan hanya sebagai pegawai di perkebunan itu, melainkan juga pelopor dan inspirator berdirinya TPA dan madrasah. Ketika sebagian masyarakat menyambutnya sebagai gadis perintis, sebagian lainnya justru menilainya minor. Teror yang menerpa Izza semakin menjadi-jadi, manakala putra pemilik perkebunan menilai gadis itu menyimpan rahasia rumah tangganya yang mendua.
Gadis muda itu ketakutan dan nyaris patah arang. Ia ingin pulang ke kampungnya yang jauh. Ia juga mulai mereka-reka masa depannya berumah tangga. Namun, Izza kecewa karena keluarga si pria ternyata batal melamarnya. Gadis yang telah lama ditinggal ibunya itu, hanya bisa menumpahkan kepedihannya kepada Ibu Nita dan ayahnya. Tapi, di tengah suasana kelabu itu, seorang pria muda yang semula membenci Izza kini datang mencari perhatiannya.
Membaca novel ini, perasaan saya seperti dibelai-belai oleh untaian cerita yang begitu lembut dan romantis, dalam balutan-balutan pucuk-pucuk teh yang selalu tersenyum menyambut matahari pagi. Buku ini menceritakan seorang gadis bernama Izza. Dia cantik, pintar dan berjilbab.
Jilbab-jilbab itulah yang menjadi persoalan ketika dia melamar kerja di sebuah perusahaan perkebunan. Namun, dari sekian banyak pelamar, dialah calon yang terbaik. Akhirnya, mau tidak mau Izza diterima bekerja sebagai kepala kantor perkebunan teh.
Diterima bekerja bukan berarti semuanya selesai. Justru, sejak hari pertama bekerja, Izza terus menerus menghadapi teror dari atasan maupun rekan-rekan kerjanya. Di tengah berbagai tantangan dan tekanan, bahkan ancaman fisik dan psikis, pada akhirnya cintalah yang menguatkan langkah Izza, yaitu cinta yang dapat mengubah segala kesedihan menjadi kebahagiaan. Terima kasih.
Indra Hutapea