REPUBLIKA.CO.ID, "Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah satu padu, kemudian Kami pisahkan antar keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka, mengapakah mereka tiada juga beriman?" (QS. Al-Anbiyaa’: 30).
Pada hampir 14 abad lalu, ayat di atas menjadi satu di antara firman-firman Allah yang turun kepada Rasulullah saw dengan muatan sains. Ayat tersebut menjelaskan tentang asal-muasal langit dan bumi, yang mulanya satu dan kemudian dipisahkan.
Menemukan jawaban tentang proses terciptanya alam semesta menjadi dahaga tersendiri bagi para ilmuan. Karena itu, mereka sejak ribuan tahun lalu berusaha meneliti antariksa. Ditambah, astronomi memang telah menjadi salah satu kebutuhan manusia sejak lama, terutama dalam hal navigasi serta penentuan dan pembagian waktu. Terlebih bagi Muslim, astronomi berfungsi lebih jauh untuk menentukan arah Ka’bah dan juga lima waktu shalat.
Teori Big Bang atau Letupan Besar yang dikemukakan pada abad 20 menjadi bukti sekaligus penegas kebenaran ayat Alquran di atas. Ayat tersebut menjelaskan proses awal penciptaan alam semesta sejak 14 abad lalu, ketika teknologi belum menunjang penelitian astronomi dan bahwa sang penerima wahyu, Rasulullah saw, bahkan tak mengenal baca-tulis.
Teori tersebut menjelaskan, semesta bermula dari sebuah benda seukuran bola tenis pada masa 0 detik atau sebelum semuanya ada. Materi tersebut sangat padat dengan kepadatan tak terkira dan suhu yang luar biasa. Ia meledak, dan pada detik pertama menghasilkan partikel dan energi eksotis. Lalu, tiga menit pertama, tercipta hydrogen (unsur pembentuk air) dan helium.
Proses tersebut berlangsung sampai dengan enam tahap hingga tercipta alam semesta seperti sekarang. Teori abad 20 tersebut sekaligus menjelaskan apa yang telah dipaparkan Alquran dalam surah Yunus ayat 3, “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan...”
Sebagai benda langit yang tidak muncul secara tiba-tiba, bintang seperti matahari tidak bertahan selamanya. Setelah lahir dan berevolusi, ia akan mati. Situs hubblesite.org (versi online dari “Hubble Space Telescope: New Views of The Universe”) menjelaskan, setelah bintang kehabisan semua bahan nuklirnya, ia akan mati. Fenomena Cat’s Eye Nebula yang berhasil didokumentasikan menggunakan kamera teleskop Hubble menunjukkan detik-detik kematian sebuah bintang yang dikenal sebagai Planet Nebula.
Planet Nebula bukanlah planet seperti namanya. Ia adalah sebuah bintang sebagaimana matahari yang berada sekitar 3.000 tahun cahaya dari bumi, dan diperkirakan telah berumur 1.000 tahun lebih (dinamai “planet” sekitar seabad lalu karena terlihat seperti planet melalui teleskop kecil kala itu). Ledakan bintang yang berada di bagian utara konstelasi Draco ini menghasilkan ledakan menyerupai mawar berwarna merah.
Fenomena tersebut sekali lagi menjelaskan satu firman Allah yang lain. “Maka apabila langit terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilapan) minyak...” (QS. Ar-Rahman: 37). Karena itu, Cat’s Eye Nebula disebut pula Oily Red Rose Nebula yang berarti “nebula mawar merah yang berminyak”.
***
Dunia mengenal astronom-astronom hebat periode kuno seperti Thales (Yunani, 624-547 SM), Anaximander (Yunani, 611-547 SM), Pythagoras (569-475 SM), Aristotle (Yunani, 384-322 SM), Aristarchus (Yunani, 310-230 SM), dan Hipparchus (Yunani, 190-120 SM).
Meneruskan prestasi mereka, pada era berikutnya muncul nama-nama besar lainnya seperti Claudius Ptolemy (Yunani, 85-165 M), Nicolaus Copernicus (Polandia, 1473-1543 M), Tyco Brahe (Denmark, 1546-1601 M), Galileo Galilei (Italia, 1564-1642 M), johannes Kepler (Jerman, 1571-1630 M), Giovanni Cassini (Italia, 1625-1712 M), atau Isaac Newton (Inggris, 1643-1727).
Selain mereka, ilmuan dan astronom Muslim tak ketinggalan ikut mencatatkan nama mereka dalam sejarah dan perkembangan astronomi. Peran dan sumbangan pemikiran mereka ikut mewarnai perkembangan ilmu astronomi.
Sebut saja Ahmad ibn Muhammad ibn Katsir al-Faraghani (Persia, mencapai puncak prestasinya pada 683 M), Abu Abdallah Muhammad Ibn Jabir Ibn Sinan al-Battani (Iran, sekitar 850-923/9 M), Abd al-Rahman al-Sufi (Persia, 903-986 M), Abul Wafaa Al-Bozgani (Iran, 940-998 M), Abu Ishak Al-Nakkash Al-Zirikli, Abul Yosr Bahaa' ad-Din Al-Kharki (950-1029), al-Badie' al-Astralbi (1139 M), Ibnu al-Shater (1306-1375 M), Olgh Bek, Al-Syams Rudani El-Din Al Fasi, al-Khawarzimi (Baghdad, 780-850), al Zarquli (wafat 1087), Omar al Khayyami (1048-1126), dan Shihab al Ahmed bin Majid al Najdi (c.1500).
Dalam Historical Encyclopedia of Natural and Matematical Sciences Volume 1 karya Ari Ben-Menahem (2009), disebutkan pula sejumlah nama lain. Seperti, Abu Mahsar (805-929 M), Yaqub ibn Ishaq al-Kindi (815-873 M), Al-Sabi’ Tsabit ibn Qurra al-Harrani (Irak, 836-901 M), Ibn Yunus (Mesir, 940-1009), Ibn al-Haitam (Basra dan Mesir, 965-1039), Abu Rayhan al-Biruni (Persia, 973-1048), Ibn al-Banna al-Marakushi (Maroko, 1190-1265), Qutb al-Din al-Shirazi (Persia, 1236-1311), dan Jamshid al-Kashi (Iran, 1360-1436).
Selain dikenal sebagai astronom, mereka adalah matematikawan, filosofer, penulis, kaligrafer, dokter, atau juga musisi. Beberapa diantara karya mereka bahkan pernah menjadi rujukan utama astronomi dunia.