REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Aboebakar Alhabsyi menyarankan semua pihak untuk berhati-hati membaca atau menelaah isi putusan MK tentang posisi wakil menteri agar didapat pemahaman yang benar atas keputusan itu.
"Kita harus menghormati dan mematuhi apa yang telah diputuskan oleh MK, tapi juga harus hati-hati dalam membaca dan menelaah isi putusan MK tersebut," ujarnya di Jakarta, Rabu (6/6).
Dikatakannya bahwa amar putusan yang dibacakan majelis hakim MK adalah mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan. Salah satu amarnya menyatakan bahwa penjelasan Pasal 10 UU 39/2008 tentang Kementerian Negara bertentangan dengan UUD 1945.
"Ini berarti bahwa isi dari penjelasan pasal tersebut yang berbunyi 'Yang dimaksud dengan Wakil Menteri adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet' adalah berlawanan dengan konstitusi," ujarnya.
Ini berarti pula bahwa penjelasan pasal tersebut tidak seharusnya ada, maka pada amar putusan yang ketiga MK menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 10 UU 39/2008 tentang Kementerian Negara bertentangan dengan UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Berarti MK tidak mau membatasi bahwa wakil menteri adalah harus pejabat karir dan bukan anggota kabinet, MK dalam hal ini ingin mengembalikan klausul menteri ini seperti pada kaidah pokoknya tanpa harus dipersepit dengan dua kriteria tersebut," ujarnya.
Namun, ia menambahkan, tafsir atas putusan MK ini tidak bisa serta merta "acontrario" dari pasal yang diputuskan. Jadi tidak bisa serta merta ditafsirkan bahwa wakil menteri harus bukan pejabat karir dan harus sebagai anggota kabinet.
Menurut dia, secara proporsional bagaimana pengaturan menteri ini adalah hak eksklusif presiden, sehingga bisa saja mereka berasal dari profesional, partai politik ataupun dari pejabat karir juga.
"Inilah yang saya lihat semangat dari putusan MK tersebut, para hakim MK ingin mengembalikan kedudukan pengangkatan menteri sebagai hak perogratif presiden," ujarnya.