REPUBLIKA.CO.ID,TASIKMALAYA -- Ijtima' Ulama Indonesia menilai kejahatan pencucian sejajar dengan pencurian dan penipuan. Kejahatan ini mendapat perhatian khusus, karena tindak pidana ini belum pernah dibahas para ulama zaman dulu.
Ketentuan hukum yang disepakati dalam ijtima' yang diikuti sekitar 800 ulama ini memutuskan lima hal. Pertama, pencucian uang merupakan tindak pidana, karena merupakan bentuk pencurian dan penipuan. Kejahatan ini dinilai terorganisir karena melibatkan sejumlah orang. Pelakunya dipastikan tidak sendirian.
Ada yang berperan sebagai pelaku tindak pidana, seperti korupsi misalkan. Kemudian hasil korupsi dimanfaatkan untuk membuka usaha konstruksi bangunan misalkan. Uang hasil korupsi akhirnya terlihat seperti jerih payah sendiri. "Ini menipu," jelas Ketua MUI, KH Ma'ruf Amin, di Tasikmalaya, Jawa Barat, Ahad (1/6).
Kedua, pelaku tindak pidana ini layak dihukum dengan ancaman hukuman yang berlaku dan kemudian dikucilkan. Mereka harus diberikan pelajaran agar tidak lagi melakukan kejahatan yang sama. "Intinya adalah hukuman yang memberikan efek jera," paparnya.
Ketiga, menerima dan memanfaatkan uang yang berasal dari pencucian uang haram hukumnya. Hal ini diatur dalam al-Quran Surat al-Baqarah 188, "Dan janganlah kamu memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar karena nanti akan dihukum." Hal sama juga ditegaskan dalam QS al-Nisa: 29.
Keempat, penerima uang yang berasal dari tindak pidana pencucian uang wajib mengembalikannya kepada negara. Uang tersebut kemudian dimanfaatkan untuk kemaslahatan umum.
Terakhir, penerima hasil pencucian uang tidak perlu dihukum jika sudah mengembalikan hasil itu kepada negara. Hal ini dinilai wajar, karena penerima belum tentu berperan sebagai pelaku kejahatan asal yang kemudian hasilnya diputar dalam proses pencucian uang.