REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yang merupakan gabungan dari komisioner Komisi Yudisial (KY) dan hakim agung memutuskan memberhentikan dengan hormat Hakim Pengadilan Negeri Denpasar Putu Suika.
Sidang MKH ini dipimpin Komisioner KY Jaja Ahmad Jayus didampingi Komisioner KY Suparman Marzuki, Taufiqurrahman Syahuri, Ibrahim dan Hakim Agung Sri Murwahyuni, Hakim Agung Imam Soebechi serta Hakim Agung HM Zaharuddin Utama.
"Menjatuhkan hukuman pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaannya sendiri," kata Ketua Majelis Jaja Ahmad Jayus, saat membacakan putusan MKH, di Jakarta, Selasa (10/7).
Jaja menyatakan Hakim Putu Suika telah terbukti melakukan pelanggaran kode etik hakim. Beberapa poin kode etik dan pedoman perilaku hakim yang dilanggar diantaranya poin 5.1. Hakim harus berperilaku tidak tercela, pon 5.3.
Hakim harus menghindari hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat, Penuntut dan pihak-pihak dalam suatu perkara tengah diperiksa oleh Hakim yang bersangkutan dan poin 5.4.
Hakim harus membatasi hubungan yang akrab, baik langsung maupun tidak langsung dengan advokat yang sering berperkara di wilayah hukum pengadilan tempat hakim tersebut menjabat.
Hakim Putu Suika diajukan ke Majelis Kehormatan Hakim setelah dilaporkan masyarakat bertemu dan berkomunikasi dengan pihak berperkara, sering meminjam dan memakai fasilitas pihak tertentu serta menyebarkan kabar bohong diintervensi oleh ketua pengadilan negeri dalam memutus perkara.
Tolak Pembelaan
Hakim Putu Suika telah direkomendasikan KY untuk diberi sanksi diberhentikan dengan tidak hormat terkait pelanggaran yang dilakukan tersebut.
Namun majelis menjatuhkan hukuman diberhentikan dengan hormat, kata Jaja, karena Hakim Putu Suika mengakui semua perbuatannya serta telah mengabdi selama 40 tahun menjadi hakim dan akan pensiun pada tahun depan.
Majelis telah menolak semua pembelaan Hakim Putu Suika karena tidak ada hal yang baru yang diungkapkan. Jaja juga mengungkapkan bahwa hakim terlapor ini juga berbeli-belit dalam menjawab setiap pertanyaan majelis.
Hakim Putu Suika dalam pembelaannya ini, menyatakan bahwa dirinya diintervensi oleh Ketua Pengadilan Negeri(KPN) terkait perkara yang dia tanganinya, yakni perkara perdata dengan kuasa hukum HM Irfan (pelapor).
Putu mengaku bahwa dalam kasus yang ditanganinya tidak ada musyawarah hakim untuk melakukan putusan karena telah dicampuri KPN. Terkait tuduhan bertemu dengan Kuasa Hukum Penggugat HM Irfan, Putu Suika mengakuinya didatangi ke rumahnya saat perkara sudah putus dan berjalan di Pengadilan Tinggi (banding).
Hakim yang akan pensiun pada 2013 ini juga mengakui berkaraoke dengan Irfan sebanyak tiga kali. "Saya akui bahwa saya karaoke dengan Irfan, namun setelah perkara sudah putus," ungkapnya.
Hakim ini juga mengaku kenal dengan Irfan sejak tugas di Mataram dan pernah meminjam uang saat pindah ke Denpasar untuk membayar kontrakan rumah. "Saat saya pindah ke Denpasar memang saya pinjam uang kepada Irfan, namun itu tidak ada urusannya dengan perkara," katanya.
Menanggapi pembelaannya ini, Hakim Agung Sri Murwahyuni justru menganggap bahwa Putu Suika mudah diintervensi oleh pihak lain. "Jadi Anda mudah diintervensi dalam memutus perkara. Ini juga melanggar kode etik," kata Sri Murwahyuni.
Sedangkan Hakim Agung HM Zaharuddin menilai Hakim Putu Suika tidak menjalankan hukum acara dalam memutus perkara, yakni tidak melakukan musyawarah dengan hakim anggota saat akan memutus perkara. "Ini tidak sesuai dengan KUHAP, apakah saudara punya hukum acara sendiri," kata Zaharuddin.
Terkait keterlibatan KPN Denpasar, kata Jaja, mengatakan bahwa John Pieter tidak terbukti melakukan intervensi. "Itu sudah tak terbukti, justru kasus ini awalnya hakim terlapornya John Pieter dan Putu Suika sebagai saksi, namun dia naik pangkat menjadi terlapor," kata Jaja, usai sidang MKH.
Dia juga mengatakan bahwa pernyataan Putu Suika bahwa dirinya diintervensi itu sebagai upaya membela diri saja.