REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Agung, Basrief Arief mengatakan, terpidana mati juga memiliki hak untuk melakukan upaya hukum sebelum dia menjalani eksekusi. Hal itu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
"Menembak terpidana yang akan dieksekusi ini bukan seperti menembak burung, atau menembak babi di hutan, tapi ini manusia yang punya hak," kata Basrief usai mengahadiri peluncuran buku 'Apa dan Siapa Baharuddin Lopa' dan Seminar "Eksistensi Lembaga Penegak Hukum Ad Hoc Ditinjau dari Sistem Peradilan Pidana" di Jakarta, Senin (16/7).
Proses eksekusi untuk terpidana mati harus menempuh beberapa tahapan. Basrief membagi hak upaya hukum terpidana mati ke dalam tiga kategori. Pertama, para terpidana yang masih memiliki upaya hukum biasa. "Mereka ini yang masih bisa berupaya mengajukan banding atau kasasi," katanya.
Basrief Arief melanjutkan, upaya hukum yang kedua adalah hak mengajukan peninjauan kembali atas putusan yang telah berkekuatan tetap. Hak terpidana untuk mengajukan peninjauan kembali diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.
Basrief menambahkan, para terpidana juga masih punya hak mengajukan grasi kepada Presiden RI. Sesuai dengan Undang-Undang No 22 tahun 2002, untuk terpidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana, bahkan tanpa persetujuan terpidana.
Setelah upaya grasi selesai, masih terdapat ketentuan lagi yang harus dipenuhi sesuai dengan perundang-undangan. Basrief mencontohkan, sesuai Penetapan Presiden (Penpres) No. 2 tahun 1964, terpidana mati diperbolehkan mengajukan permintaan terakhir kepada kejaksaan.
"Katakanlah ada keluarga yang di luar atau keluarga yang sakit ingin minta bertemu, itu harus dipenuhi, dan jika perlu harus menunggu," tutur dia.
Hingga saat ini terdapat 100 lebih terpidana mati di Indonesia. Selain warga negara Indonesia, di antara mereka juga terdapat warga negara asing yang mayoritas terpidana kasus narkotika.