REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Konferensi darurat Komite Palestina Gerakan Non Blok (GNB) di Ramallah, Palestina, digelar Ahad (5/8) ini. Sebanyak 13 menteri luar negeri anggota GNB dijadwalkan menghadiri rapat darurat tersebut. Namun, ada situasi khusus karena tak semua menteri luar negeri bisa memasuki kawasan tersebut.
Ramallah memang berada di teritori Palestina. Tetapi siapa pun yang ingin memasuki kota terebut harus melewati pintu gerbang di wilayah Israel. Negara Yahudi menyatakan mengizinkan menteri luar negeri dari tujuh negara yang memiliki ikatan diplomatik dengan Israel untuk melewati pintu gerbang tersebut.
Pejabat pemerintah Israel memutuskan, Ahad, membolehkan para menlu dari delapan negara yakni Mesir, India, Afrika Selatan, Senegal, Kolombia, Yordania, Zambia, Zimbabwe untuk mengunjungi konferensi tersebut.
Tapi bagi menlu dari negara-negara yang tak memiliki hubungan diplomatik dilarang melintas. Larangan itu berlaku bagi Bangladesh, Kuba, Indonesia, Malaysia dan Aljazair. Itu berarti pula, Menlu Marty Natalegawa yang dijadwalkan hadir kemungkinan besar tak bisa memasuki Ramallah.
Menanggapi situasi itu, Menteri Luar Negeri Palestina, Riyad Almaliki, kepada wartawan mengatakan kedatangan para menlu dikordinasi ketat oleh Israel, Yordania dan Mesir. "Logistik untuk membawa mereka ke sini tidak mudah sama sekali, terutama bagi negara-negara yang tak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, mereka tak bisa melewati perbatasan Israel," ujarnya.
Konferensi itu digelar dengan maksud mengupayakan dan mendukung peningkatan keanggotaan Palestina di PBB karena Majelis Umum akan digelar bulan depan.
Upaya itu diprediksi mendapat dukungan penuh dari 120 anggota GNB yang akan menggelar konferensi tingkat tinggi akhir bulan in di Teheran, Iran. Gerakan itu langsung mendapat reaksi keras dari Israel dan Amerika Serikat.