Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Paruh kedua abad 4 H/10 M, Abu Bakar Muhammad bin Mawhab Al-Tujibi Al-Qabri (406 H/1015 M) seorang ulama besar di Andalusia, Spanyol, pernah mengeluarkan pernyataan kontroversial: perempuan boleh menjadi seorang nabi. Bahkan, tak segan ia menunjuk sejumlah perempuan sebagai nabiyyah.
Adalah Maryam, satu dari sekian nabiyyah yang ia sebutkan. Pendapat Al-Tujibi ini mendapat respons ulama kala itu. Reaksi keras muncul dari Abu Muhammad Abdullah bin Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah bin Ja’far Al-Ashili (392 H/1001 M).
Menurut dia, Maryam bukanlah seorang nabi, melainkan hanya sebagai shiddiqah, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Maidah [5]: 75.
Kontroversi ini berkembang luas di Kordoba. Akhirnya, diredam oleh Al-Mansur bin Abi Amir yang secara de facto adalah penguasa Andalusia di bawah kendali Bani Umayyah. Namun, ia tetap membiarkan adanya kalangan yang mendukung kenabian Maryam.
Tidak lama kemudian, muncul seorang pemuda cerdas, Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Hazm Al-Andalusy (456 H/ 1064 M), yang juga mengakui adanya nabi perempuan, sebagaimana bisa dilihat di dalam karya besarnya, “al-Fahslu fi al-Milal wa al-Ahwai wa an-Nihal”, Juz V dalam sebuah topik khusus, ‘Kenabian Perempuan’ (Nubuwwah al-Mar’ah).
Kontroversi tentang kenabian perempuan di kalangan ulama dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian. Pertama, kelompok ulama yang menolak kemungkinan adanya nabi perempuan. Pendapat ini didukung oleh mayoritas ulama.
Argumentasi mereka, yaitu Surah Yusuf [12]: 109 dan dengan redaksi yang mirip di dalam An-Nahl [16]: 43. Dinyatakan, “Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri.”