Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Penampakan
Ibnu Arabi (638H/1240) mempunyai pengalaman rohani yang memandang perempuan lebih berpotensi untuk melakukan penampakan (tajalli/experience of teophany).
Hal ini bisa kita lihat di dalam artikel-artikel terdahulu tentang pendapat Ibnu Arabi soal potensi khusus yang dimiliki kaum perempuan.
Sebagaimana para sufi lainnya, Ibnu Arabi memberikan penilaian khusus untuk perempuan sebagai pemilik jenis kelamin utama. Ia pernah berkata di depan para muridnya yang mayoritas laki-laki.
“Jika kalian ingin memperoleh kedekatan khusus kepada Allah SWT, kalian terlebih dahulu harus menjadi perempuan.” Kepasrahan total dan kesabaran paripurna yang dimiliki perempuan membuatnya mulia di mata-Nya.
Para filsuf, termasuk Fakhr Ad-Din Ar-Razi (606 H/ 1209 M), menganggap perempuan tidak akan pernah menjadi nabi. Meskipun ada teks yang secara tegas menyatakan adanya pewahyuan terhadap perempuan.
Apa yang terjadi terhadap istri Nabi Musa, hal yang sama juga terjadi terhadap lebah madu, yang secara eksplisit juga menerima wahyu, wa auha Rabbuka ila an-nahl (QS An-Nahl [16]: 68).
Menurut Ibnu Hazm, yang dimaksud dengan kedua ayat tersebut ialah kerasulan laki-laki, tidak bisa dihubungkan dengan kenabian perempuan. Bagi Ibnu Hazm, lain nabi lain rasul.
Ibnu Hazm mengakui tidak ada rasul perempuan, tetapi ia juga mengakui adanya nabi perempuan. Ibnu Hazm menganggap Maryam sebagai nabiyyah meskipun ia bukan sebagai Rasul.
Bagi kita, apakah Maryam itu Nabiyyah atau bukan tidaklah menjadi persoalan penting. Yang paling penting buat kita ialah Maryam telah menjalankan misi spiritualnya yang teramat penting.
Ia telah mengandung dan melahirkan anak yang terkenal dengan Nabi Isa atau Yesus Kristus menurut agama Kristen. Misi utama Maryam-Nabi Isa telah berupaya untuk melangitkan manusia setelah dibumikan Hawa-Adam.